Banner 468 x 60px

Radio Rodja 756AM
 

Minggu, 22 Maret 2015

Fitnah ISIS (Daulah Islam Iraq dan Syam) dan Kejahatannya

0 comments
Oleh: Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al Abbad Al Badr hafizhahullah
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله وحده وصلى الله وسلم على من لا نبي بعده نبينا محمد وعلى آله وصحبه. أما بعد؛
Beberapa tahun lalu, di Iraq lahir sebuah kelompok yang menamakan diri mereka دولة الإسلام بالعراق والشام (dalam versi bahasa Inggris: Islamic State of Iraq and Sham; ISIS), dan dikenal juga dengan singkatan [داعش] yang diambil dari huruf-huruf awal nama daulah khayalan tersebut. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian pengamat yang mengikuti perkembangan mereka, munculnya daulah khayalan ini diikuti dengan munculnya sejumlah nama: Abu Fulan Al Fulani atau Abu Fulan bin Fulan, yaitu berupa kun-yah yang disertai penisbatan kepada suatu negeri atau kabilah. Inilah kebiasaan orang-orang majhul (orang yang tidak jelas) yang bersembunyi di balik kun-yah dan penisbatan.
Kemudian setelah beberapa waktu terjadinya peperangan di Suriah antara pemerintah dan para penentangnya, masuklah sekelompok orang dari ISIS ini ke Suriah. Bukan untuk membantu memerangi pemerintah Suriah, namun malah memerangi Ahlus Sunnah yang berjuang melawan pemerintah Suriah dan membantai Ahlus Sunnah. Dan sudah masyhur bahwa cara mereka membunuhi orang-orang yang ingin mereka bunuh seenaknya yaitu dengan menggunakan golok-golok yang merupakan cara terburuk dan tersadis.
Di awal bulan Ramadhan tahun ini (1435 H) mereka mengubah nama mereka menjadi الخلافة الإسلامية (Al-Khilafah Al-Islamiyah). Khalifahnya yang disebut dengan Abu Bakar Al Baghdadi berkhutbah di sebuah masjid jami’ di Mosul. Diantara yang ia katakan dalam khutbahnya: “Aku dijadikan pemimpin bagi kalian padahal aku bukan orang yang terbaik di antara kalian”. Sungguh ia telah berkata benar, bahwa ia bukanlah orang yang terbaik di antara mereka, karena ia telah membunuhi orang seenaknya dengan golok-golok. Apabila pembunuhan tersebut atas perintahnya, atau ia mengetahuinya atau ia menyetujuinya, maka justru ia adalah orang yang terburuk di antara mereka. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:
من دعا إلى هدى كان له من الأجر مثل أجور من تبعه، لا ينقص ذلك من أجورهم شيئا، ومن دعا إلى ضلالة كان عليه من الإثم مثل آثام من تبعه، لا ينقص ذلك من آثامهم شيئا
“Barangsiapa mengajak kepada jalan petunjuk, maka ia mendapatkan pahala semisal pahala orang yang mengikutinya. tanpa mengurangi pahala orang yang mengkutinya itu sedikitpun. Dan barangsiapa mengajak keada kesesatan, maka ia mendapatkan dosa semisal dosa orang yang mengikutinya. tanpa mengurangi dosa orang yang mengkutinya itu sedikitpun” (HR. Muslim, 6804)
Kalimat yang ia katakan tersebut dalam khutbahnya, sebenarnya adalah kalimat yang telah dikatakan oleh khalifah pertama umat Islam setelah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu’anhu wa ardhaah. Namun beliau adalah orang yang terbaik dari umat ini, dan umat ini adalah umat yang terbaik dari umat-umat yang ada. Beliau berkata demikian dalam rangka tawadhu’ (rendah hati) padahal beliau sendiri tahu dan para sahabat juga tahu bahwa beliau adalah orang yang terbaik di antara mereka berdasarkan dalil-dalil berupa ucapan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam mengenai hal tersebut. Maka sebaiknya firqah ini (ISIS) sadar diri dan kembali kepada jalan petunjuk sebelum daulah mereka hilang dihembus angin sebagaimana daulah-daulah yang telah ada semisalnya di berbagai zaman.
Dan suatu hal yang disayangkan, fitnah (musibah) khilafah khayalan yang lahir beberapa waktu yang lalu ini, diterima dan disambut oleh sebagian pemuda di negeri Al-Haramain. Mereka bahagia dan senang terhadap khilafah khayalan ini sebagaimana senangnya orang yang haus ketika mendapatkan minuman. Dan diantara mereka juga ada yang mengaku telah berbai’at kepada khalifah majhul tersebut! Bagaimana mungkin bisa diharapkan kebaikan dari orang-orang yang memiliki pemahaman takfir (serampangan memvonis kafir) dan taqtil (serampangan membunuh orang) dengan cara membunuh yang paling kejam dan sadis?
Maka yang menjadi kewajiban atas para pemuda tersebut untuk melepaskan diri mereka dari pengaruh para provokator, dan hendaklah mereka ruju’kepada apa yang datang dari Allah ‘Azza Wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam dalam setiap tindak-tanduk mereka. Karena pada keduanya ada keterjagaan, keselamatan dan kesuksesan di dunia dan akhirat. Dan hendaknya mereka juga ruju’ kepada para ulama yang senantiasa menasihati mereka dan kaum muslimin. Diantara contoh keselamatan dari kesesatan karena ruju’ kepada para ulama adalah sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya (191) dari Yazid Al Faqir, ia berkata:
كنتُ قد شَغَفَنِي رأيٌ من رأي الخوارج، فخرجنا في عِصابةٍ ذوي عدد نريد أن نحجَّ، ثمَّ نخرجَ على الناس، قال: فمررنا على المدينة فإذا جابر بن عبد الله يُحدِّث القومَ ـ جالسٌ إلى ساريةٍ ـ عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، قال: فإذا هو قد ذكر الجهنَّميِّين، قال: فقلتُ له: يا صاحبَ رسول الله! ما هذا الذي تُحدِّثون؟ والله يقول: {إِنَّكَ مَن تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ}، و {كُلَّمَا أَرَادُوا أَن يَخْرُجُوا مِنْهَا أُعِيدُوا فِيهَا}، فما هذا الذي تقولون؟ قال: فقال: أتقرأُ القرآنَ؟ قلتُ: نعم! قال: فهل سمعت بمقام محمد عليه السلام، يعني الذي يبعثه فيه؟ قلتُ: نعم! قال: فإنَّه مقام محمد صلى الله عليه وسلم المحمود الذي يُخرج اللهُ به مَن يُخرج. قال: ثمَّ نعتَ وضعَ الصِّراط ومرَّ الناس عليه، قال: وأخاف أن لا أكون أحفظ ذاك. قال: غير أنَّه قد زعم أنَّ قوماً يَخرجون من النار بعد أن يكونوا فيها، قال: يعني فيخرجون كأنَّهم عيدان السماسم، قال: فيدخلون نهراً من أنهار الجنَّة فيغتسلون فيه، فيخرجون كأنَّهم القراطيس. فرجعنا، قلنا: وَيْحَكم! أَتَروْنَ الشيخَ يَكذِبُ على رسول الله صلى الله عليه وسلم؟! فرجعنا، فلا ـ والله! ـ ما خرج منَّا غيرُ رَجل واحد، أو كما قال أبو نعيم
“Dulu aku pernah terpengaruh dan begitu menyukai suatu pemikiran dari pemikiran Khawarij, lalu kami keluar bersama sekelompok orang banyak untuk berhaji. Kami pun keluar bersama orang-orang. Kemudian tatkala kami melewati Madinah, kami mendapati Jabir bin ‘Abdillah tengah duduk di tengah para musafir untuk mengajarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Beliau menyebutkan tentang Al Jahannamiyun (orang-orang yang dikeluarkan dari neraka). Aku pun berkata kepada Jabir bin ‘Abdillah, ‘Wahai shahabat Rasulullah, apa yang sedang kau katakan ini? Bukankah Allah berfirman (yang artinya): Wahai Rabb kami, sesungguhnya siapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan dia” (QS. Ali ‘Imran: 192). Allah juga berfirman (yang artinya): “Setiap kali mereka (para penghuni neraka) hendak keluar daripadanya, mereka dikembalikan (lagi) ke dalamnya” (QS. As-Sajdah: 20). Lalu apa yang kalian katakan ini?”. Maka Jabir bin ‘Abdillah pun berkata, “Apakah kau membaca Al Quran?”. Aku menjawab, “Ya”. Jabir berkata, “Lantas apakah kau mendengar tentang kedudukan Muhammad ‘alaihis salam? Yakni kedudukan yang beliau diutus kepadanya?”. Aku menjawab, “Ya”. Jabir “Maka sesungguhnya itulah kedudukan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang terpuji, yang dengan sebabnya lah Allah mengeluarkan orang yang dikeluarkan dari neraka”. Kemudian Jabir menjelaskan tentang letak shirath dan bagaimana manusia melintasinya. Aku khawatir tidak menghafalnya semua penjelasannya. Hanya saja Jabir mengatakan bahwa ada orang-orang yang dikeluarkan dari neraka setelah mereka berada di dalamnya, dia mengatakan, “Lalu mereka dikeluarkan (dari neraka) seakan-akan mereka itu potongan kayu dan biji-bijian kering yang telah dijemur, lalu mereka dimasukkan ke sebuah sungai dari sungai-sungai surga dan mereka mereka dicuci di situ, lalu dikeluarkan lagi seakan-akan mereka itu kertas yang putih”. Lalu kami pun ruju’, kami mengatakan kepada sesama kami, “Celakalah kalian! Apakah kalian pikir Syaikh (yaitu Jabir bin ‘Abdillah) telah berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”. Dan kami pun ruju’, dan demi Allah, tidaklah ada yang keluar dari kelompok kami kecuali seorang lelaki saja. Atau kira-kira demikian yang dikatakan oleh Abu Nu’aim” (HR. Muslim)
Abu Nu’aim di sini adalah Al Fadhl bin Dukain, ia adalah salah seorang perawi hadits ini. Hadits ini menunjukkan bahwa kelompok yang disebutkan di dalamnya telah mengagumi pemikiran Khawarij, yaitu mengkafirkan pelaku dosa besar dan meyakini mereka kekal di neraka. Namun dengan bertemunya mereka dengan Jabir radhiyallahu’anhu dan dengan penjelasan beliau, akhirnya mereka kemudian mengikuti bimbingan Jabir kepada mereka lalu meninggalkan kebatilan yang mereka pahami. Mereka juga tidak jadi melancarkan pemberontakan yang sudah mereka rencanakan akan dilakukan setelah haji. Inilah faidah terbesar yang akan didapatkan oleh seorang Muslim jika ia ruju’ kepada ulama.
Bahaya ghuluw (berlebih-lebihan) dalam beragama dan menyimpang dari kebenaran serta menyelisihi pendapat ahlussunnah wal jama’ah juga ditunjukkan oleh sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berikut ini, dari hadits Hudzaifah radhiyallahu’anhu,
إنَّ أخوفَ ما أخاف عليكم رجل قرأ القرآن، حتى إذا رُئيت بهجته عليه وكان ردءاً للإسلام، انسلخ منه ونبذه وراء ظهره، وسعى على جاره بالسيف ورماه بالشرك، قلت: يا نبيَّ الله! أيُّهما أولى بالشرك: الرامي أو المرمي؟ قال: بل الرامي
“Sesungguhnya yang paling aku takuti menimpa kalian adalah orang yang membaca Al-Qur’an, yaitu ketika telah terlihat cahaya dalam dirinya dan menjadi benteng bagi Islam, ia pun berlepas diri dari Al Qur’an dan membuangnya di belakang punggungnya. Lalu ia berusaha memerangi tetangganya dengan pedang dan ia menuduh tetangganya itu telah syirik. Aku (Hudzaifah) berkata: ‘Wahai Nabi Allah, (dalam keadaan ini) siapakah yang berbuat syirik, apakah yang menuduh atau yang tertuduh?’. Beliau bersabda: ‘yang menuduh’” (HR. Al-Bukhari dalam At-Tarikh, Abu Ya’la, Ibnu Hibban dan Al-Bazzar, lihat Silsilah Ash Shahihah karya Al-Albani no. 3201).
Masih belianya usia, merupakan sumber buruknya pemahaman. Ini ditunjukkan oleh hadits yang di riwayatkan oleh Al Bukhari dalam Shahih-nya (4495) dengan sanadnya dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya bahwa ia berkata:
قلت لعائشة زوج النَّبيِّ صلى الله عليه وسلم وأنا يومئذ حديث السنِّ: أرأيتِ قول الله تبارك وتعالى: {إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَآئِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَا} ، فما أرى على أحد شيئاً أن لا يطوَّف بهما، فقالت عائشة: كلاَّ! لو كانت كما تقول كانت: فلا جناح عليه أن لا يطوَّف بهما، إنَّما أنزلت هذه الآية في الأنصار، كانوا يُهلُّون لِمناة، وكانت مناة حذو قديد، وكانوا يتحرَّجون أن يطوَّفوا بين الصفا والمروة، فلمَّا جاء الإسلام سألوا رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ذلك، فأنزل الله  {إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَآئِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَا
“Aku berkata kepada Aisyah istri Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan aku ketika itu masih berumur muda: Apa pendapatmu tentang firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah termasuk syi’ar-syi’ar Allah, maka barangsiapa yang melakukan haji ke Ka’bah atau Umrah, maka tidak ada dosa baginya untuk thawaf pada keduanya”. Maka aku berpendapat bahwa tidak mengapa seseorang tidak melakukan thawaf antara Shafa dan Marwah?. Aisyah berkata: Tidak, andaikan seperti yang engkau katakan maka ayatnya akan berbunyi, “Maka tidak ada dosa baginya untuk ‘tidak’ thawaf pada keduanya”. Hanyalah ayat ini turun ada sebabnya, yaitu tentang kaum Anshar, dulu mereka berihram untuk Manat, dan Manat terletak di Qudaid. Dahulu mereka merasa berdosa untuk melakukan thawaf antara Shafa dan Marwah. Ketika datang Islam, mereka bertanya kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tentang itu, lalu Allah menurunkan ayat, “Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah termasuk syi’ar-syi’ar Allah, maka barangsiapa yang melakukan haji ke Ka’bah atau Umrah, maka tidak ada dosa baginya untuk thawaf pada keduanya”” (HR. Al Bukhari)
‘Urwah bin Az-Zubair termasuk orang yang utama dari kalangan tabi’in, salah seorang dari 7 fuqoha Madinah di masa tabi’in. Beliau telah menyiapkan‘udzur-nya pada kesalahan pemahaman beliau, yaitu usia beliau yang masih muda ketika bertanya pada Aisyah. Maka jelaslah dari sini bahwa belianya usia meupakan sumber buruknya pemahaman dan bahwa kembali kepada ulama adalah sumber kebaikan dan keselamatan. Dalam Shahih Al Bukhari(7152) dari Jundab bin Abdillah, ia berkata:
إنَّ أوَّل ما ينتن من الإنسان بطنُه، فمَن استطاع أن لا يأكل إلاَّ طيِّباً فليفعل، ومَن استطاع أن لا يُحال بينه وبين الجنَّة بملء كفٍّ من دم هراقه فليفعل
“Sesungguhnya bagian tubuh manusia yang pertama kali membusuk adalah perutnya, maka siapa yang mampu untuk tidak makan kecuali dari yang baik hendaknya ia lakukan. Barangsiapa yang mampu untuk tidak dihalangi antara dirinya dan surga dengan setangkup darah yang ia tumpahkan, hendaknya ia lakukan” (HR. Al Bukhari)
Al Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari (13/130) : “Diriwayatkan juga secara marfu’ oleh Ath-Thabrani dari jalan Ismail bin Muslim, dari Al Hasan, dari Jundab dengan lafadz: kalian tahu bahwa aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
تعلمون أنِّي سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول:  لا يحولنَّ بين أحدكم وبين الجنَّة وهو يراها ملءُ كفِّ دم من مسلم أهراقه بغير حلِّه
‘Janganlah terhalangi sampai salah seorang dari kalian dengan surga karena setangkup darah seorang muslim yang ia tumpahkan tanpa alasan yang benar, padahal ia sudah melihat surga’
Hadits ini walaupun tidak secara tegas marfu’ kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam namun dihukumi marfu’ karena tidak mungkin dikatakan berdasarkan pendapat. Sebab di dalamnya ada ancaman yang keras terhadap dosa membunuh seorang muslim tanpa hak” [selesai perkataan Ibnu Hajar].
Sebagian hadits-hadits dan atsar-atsar ini telah aku sebutkan dalam tulisanku berjudul Biayyi ‘Aqlin wa Diinin Yakuunut Tafjiir wat Tadmiir Jihaadan. Di dalamnya juga terdapat banyak hadits dan atsar yang menjelaskan haramnya bunuh diri dan haramnya membunuh orang lain tanpa hak. Tulisan ini telah dicetak secara tersendiri pada tahun 1424 H, dan dicetak pada tahun 1428 H bersama tulisan lain yang berjudul Badzalun Nush-hi wat Tadzkiir li Baqaayal Maftuuniin bit Takfiir wat Tafjiir yang termasuk dalam Majmu’ Kutub war Rasail milikku (6/225/276).
Dan kepada para pemuda yang sudah ikut-ikutan mendukung ISIS ini, hendaklah mereka ruju‘ dan kembali kepada jalan yang benar. Dan jangan terfikir sama sekali untuk bergabung bersama mereka, yang akan menyebabkan kalian keluar dari kehidupan ini lewat bom bunuh diri yang mereka pakaikan atau disembelih dengan golok-golok yang sudah jadi ciri khas kelompok ini. Dan (kepada para pemuda Saudi) hendaknya mereka tetap mendengar dan taat kepada pemerintah Arab Saudi yang mereka hidup di bawah kekuasaannya. Demikian pula bapak-bapak dan kakek-kakek juga mereka hidup di negeri ini dalam keadaan aman dan damai. Sungguh negeri ini adalah negeri yang terbaik di dunia ini, dengan segala kekurangannya. Dan diantara sebab kekurangan tersebut fitnah (musibah) para pengikut budaya Barat di negeri ini yang terengah-engah dalam taqlid terhadap negeri Barat dalam perkara yang mengandung mudharat.
Aku memohon kepada Allah ‘Azza Wa Jalla agar Ia senantiasa memperbaiki kondisi kaum muslimin di manapun berada. Dan semoga Allah memberi hidayah kepada para pemuda kaum Muslimin baik laki-laki maupun wanita kepada setiap kebaikan, semoga Allah menjaga negeri Al Haramain baik pemerintah maupun masyarakatnya dari setiap kejelekan, semoga Allah memberi taufiq kepada setiap kebaikan dan melindungi dari kejahatan orang-orang jahat dan tipu daya orang-orang fajir. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.
وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه.
Sumber: http://al-abbaad.com/index.php/articles/125-1435-09-28

Read more...

Jumat, 20 Maret 2015

Pandangan Islam tentang Perayaan Ogoh-Ogoh dalam Perspektif Cinta & Benci Karena Allah

0 comments

Semenjak Allah mengabarkan kepada kita tentang sumpah Iblis dalam firman-Nya;
قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِين
“Iblis berkata: ‘Demi keagungan-Mu, sungguh-sungguh aku akan menyesatkan mereka (anak Adam) semuanya.” [QS. Shaad: 82]
dan semenjak Allah berfirman;
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوّاً إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِير
“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, Maka anggaplah ia musuh(mu), karena Sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala. [QS. Faathir: 6]
semenjak itu pula (sejatinya) kita senantiasa berada dalam medan pertempuran dan perseteruan dengan Hizbusy-syaitan (Tentara Syaitan). Dan kita berharap untuk selalu berada dalam barisan Hizbullaah (Tentara Allah) bersama; para malaikat, para Nabi dan Rasul, beserta ahli tauhid dan iman. Sementara Hizbusy-syaitan, dikomandoi oleh Iblis, di belakangnya berbaris Dajjal, Yahudi, Nasrani, bersama orang-orang musyrik dan munafik yang memilih agama selain Islam.
Sebagaimana (kelak di akhirat) tidak ada tempat ketiga selain surga dan neraka, maka begitu pula tidak ada golongan yang ketiga di dunia ini sebagai tempat bernaung dan menggolongkan diri selain kedua golongan di atas. Jika tidak berada dalam barisan Hizbullaah (baca: Islam), maka sudah barang tentu dalam barisan Hizbusy-syaitan yang telah pasti neraka sebagai tempat kembalinya.
Di antara karakteristik orang-orang yang menggolongkan diri ke dalam Hizbullaah adalah; mereka sangat membenci musuh-musuh Allah sekaligus membenci apa-apa yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Di samping itu, mereka sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya sekaligus mencintai apa-apa yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Inilah garis pembatas yang memisahkan mereka dengan Hizbusy-syaitan. Garis pembatas inilah yang dikenal dengan sebutan al-Walaa wal Baraa (cinta dan benci karena Allah).

al-Walaa wal Baraa dan Putusnya Tali Iman

Sesungguhnya iman memiliki tali yang bisa menyelamatkan pemiliknya dari jurang kekafiran. Kokoh tidaknya tali iman tersebut, sangat bergantung pada kadar kekuatan al-Walaa’ wal Baraa’ (cinta dan benci) seorang hamba di jalan Allah. Rasulullah ‘alaihis sholaatu was salaam bersabda:
أَوْثَقُ عُرَى الإيْمَانِ الْمُوَالاَةُ فِي اللهِ وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ، وَالْحُبُّ فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِي اللهِ
“Tali iman yang paling kokoh; (adalah) loyalitas dan permusuhan (semata-mata) karena Allah, serta cinta dan benci juga semata-mata karena Allah.” [di-hasan-kan oleh Imam al-Albani dalam Silsilah ash-Shahiihah no. 998, 1728]
Imam as-Suyuthi rahimahullaah (wafat: 911-H) dalam kitab tafsirnya ad-Durrul Mantsuur meriwayatkan bahwasanya Ibnu ‘Abbas radhiallaahu’anhu pernah berucap:
من أحب في الله وأبغض في الله، ووالى في الله، وعادى في الله فإنما تنال ولاية الله بذلك، ولن يجد عبد طعم الإيمان وإن كثرت صلاته وصومه حتى يكون كذلك
“Barangsiapa mencintai karena Allah, membenci juga karena Allah, berloyalitas karena Allah, memusuhi karena Allah, maka (ketahuilah bahwa) sesungguhnya derajat Wali Allah diraih dengan hal-hal tersebut. Benar-benar seorang hamba tidak akan pernah mendapati lezatnya iman, betapapun banyak solat dan puasanya, sampai dia seperti itu. [ad-Durrul Mantsuur: 8/87, cet. Daarul Fikr]

Cinta & Benci Karena Allah, Konsekuensi Laa Ilaaha Illallaah

Saat orang yang kita cintai dihina, tentu kita pun akan bangkit dengan kemarahan. Ini adalah konsekuensi logis dari sebuah loyalitas yang lahir dari kemurnian cinta yang tulus (al-Walaa) kepada orang tersebut. Ini pada kasus cinta sesama makhluk. Sekarang bagaimana dengan Allah? Dzat yang kita diwajibkan untuk mencintai-Nya di atas segala sesuatu di muka bumi ini?
Allah berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
“Dan di antara manusia, ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan, mereka mencintai tandingan-tandingan tersebut sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, jauh lebih mencintai Allah. [QS. Al-Baqarah: 165]
Terlebih lagi jika cinta kepada-Nya merupakan salah satu konsekuensi dari kalimat tauhid Laa ilaaha illallaah, sebagaimana tertulis dalam syair para ulama tentang syarat-syarat kalimat agung tersebut:
مَحَبــَّةٍ وَانقيادٍ والقَبـولِ لهَ
سِوَى الإلَـهُ مِنَ الْأشْيَاءِ قَدْ أُلِهَا
علمٌ يَقِيْنٌ وَإِخْلَاصٌ وَصِدْقُكَ مَعَ
وَزِيدَ ثَامِنُهَا الْكُفْرَانُ مِنْكَ بِمَـا
“Ilmu, keyakinan, keikhlasan, dan kejujuranmu
“Dibarengi cinta, ketundukan, dan penerimaan terhadapnya (kalimat tauhid)
Ditambah (syarat) yang kedelapan (yaitu) pengingkaran darimu
Terhadap segala sesuatu selain Allah yang telah disembah.
Imam Ibnu Rajab rahimahullaah (wafat: 795-H) mengatakan dalam kitabnya Kalimatul Ikhlash (hal. 29, Cet. Al-Maktabatul Islamiy, 1397-H):
وَمن تَمام محبته محبَّة مَا يُحِبهُ وَكَرَاهَة مَا يكرههُ فَمن أحب شَيْئا مِمَّا يكرههُ الله أَو كره شَيْئا مِمَّا يُحِبهُ الله لم يكمل توحيده وَصدقه فِي قَول لَا إِلَه إِلَّا الله وَكَانَ فِيهِ من الشّرك الْخَفي بِحَسب مَا كرهه مِمَّا يُحِبهُ الله وَمَا أحبه مِمَّا يكرههُ الله قَالَ الله تعالى {ذَلِك بِأَنَّهُم اتبعُوا مَا أَسخط الله وكرهوا رضوانه فأحبط أَعْمَالهم}
“Dan di antara kesempurnaan cinta pada-Nya, adalah mencintai apa-apa yang dicintai-Nya, dan membenci apa-apa yang dibenci-Nya. Barangsiapa mencintai sesuatu yang dibenci Allah, atau membenci sesuatu yang dicintai oleh Allah, maka tidak sempurna tauhid dan kejujurannya pada kalimat Laa ilaaha illallaah. Dalam dirinya masih terdapat kadar kesyirikan yang samar, sesuai kadar kebenciannya terhadap apa-apa yang dicintai Allah, dan kadar kecintaannya terhadap apa-apa yang dibenci oleh Allah. Allah berfirman: Yang demikian itu karena mereka mengikuti apa-apa yang membuat Allah murka, dan (justru) membenci apa-apa yang diridhai oleh-Nya. Dengan sebab itu, Allah menghapus pahala amal-amal mereka.’ QS. Muhammad: 28.”
Salah seorang ulama salaf yang mulia, Bisyr bin Surry rahimahullaah, pernah berkata:
لَيْسَ مِنْ أَعْلَامِ الْحُبِّ أَنْ تُحِبَّ مَا يُبْغِضُ حَبِيْبَكَ
“Bukanlah termasuk tanda-tanda cinta, engkau menyukai sesuatu yang menjadikan marah kekasihmu. [Kalimatul Ikhlash hal. 31, Ibnu Rajab rahimahullah]

Kesyirikan yang Samar

Sikap mencintai apa yang dibenci Allah (dan sebaliknya), merupakan kesyirikan yang samar. Sebagaimana diungkapkan oleh Imam Ibnu Rajab rahimahullaah:
أَن محبَّة مَا يكرههُ الله وبغض مَا يُحِبهُ مُتَابعَة للهوى، والموالاة على ذَلِك والمعاداة فِيهِ من الشّرك الْخَفي”
“Bahwasanya mencintai apa-apa yang dibenci oleh Allah, dan membenci apa-apa yang dicintai-Nya, merupakan tindakan mengikuti hawa nafsu. Sementara mencanangkan sikap walaa (cinta & loyal) dan muaadah (permusuhan) semata-mata atas dasar hawa nafsu tersebut, termasuk kesyirikan yang tersembunyi. [Kalimatul Ikhlash hal. 31]

Kekufuran; Puncak Kebencian Allah & Puncak Kecintaan Syaitan

Tidak ada sesuatu yang lebih dibenci oleh Allah di jagad raya ini melebihi kekufuran. Sampai-sampai Allah berfirman menegaskan; bahwa dosa kufur adalah satu-satunya dosa yang tidak diampuni:
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang (berbuat syirik dengan) mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. [QS. an-Nisaa: 48]
Begitu kejinya kekufuran di mata Allah, sampai-sampai keadilan yang sempurna baru bisa terwujud dengan divonisnya orang-orang kafir sebagai penghuni abadi siksa neraka. Allah Yang Mahaadil berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّة
“Sesungguhnya orang-orang kafir dari kalangan ahlul kitab dan musyrikin, mereka kekal di dalam neraka Jahannam. Sungguh merekalah seburu-buruk makhluk.” [QS. al-Bayyinah: 6]
Bahkan langit, bumi, dan gunung-gunung turut menjadi saksi betapa busuknya dosa kekufuran di hadapan Allah Yang Mahaagung. al-Qur-aan mengabarkan tentang hal ini:
تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا (90) أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا (91) وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا (92)
“Hampir-hampir langit pecah karena Ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh. Karena mereka menda’wakan Allah yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. [QS. Maryam: 90-92]
al-Imam Ibnu Katsiir asy-Syaafii rahimahullaah (wafat: 774-H) menukil ucapan Ibnu Abbas radhiallaahuanhu tentang ayat di atas:
الشِّرْكَ فَزِعَتْ مِنْهُ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَالْجِبَالُ، وَجَمِيعُ الْخَلَائِقِ إِلَّا الثَّقَلَيْنِ، فَكَادَتْ أَنْ تَزُولَ مِنْهُ لِعَظَمَةِ اللَّه
“Kesyirikan benar-benar menggemparkan langit, bumi, gunung-gunung, dan segenap makhluk selain jin dan manusia. Hampir-hampir semuanya hancur lenyap karena (hinanya kekufuran tersebut) dihadapkan pada keagungan Allah.” [Tafsiir Ibnu Katsiir: V/266, cet. Daarut Thoyyibah, 1420-H]
Abdurrahman bin Zaid bin Aslam rahimahullaah ketika menafsirkan kalimat “وَتَنْشَقُّ الأرْضُ” pada ayat di atas, beliau mengungkapkan bahwa bumi marah karena Allah (dihina dengan kekufuran). [lih. Tafsiir Ibnu Katsiir: V/266].
Alhasil, inilah gambaran betapa hina dan dinanya kekufuran. Betapa memuncak kebencian Allah terhadapnya. Tidak heran jika Allah memberikan julukan “syarrud dawaab” (sejelek-jelek makhluk melata) kepada orang-orang yang tenggelam dalam kekufuran:
إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الَّذِينَ كَفَرُوا فَهُمْ لَا يُؤْمِنُون
“Sesungguhnya syarrud dawaab (makhluk yang palik buruk) di sisi Allah adalah orang-orang kafir, (dikarenakan) mereka tidak beriman (menegakkan tauhid). [QS. al-Anfaal: 55]
Di sisi yang berlawanan, Hizbusy-syaitan sangat mencintai kekufuran. Ini adalah tujuan akhir mereka dalam menyesatkan anak Adam. Allah berfirman:
يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا
“…mereka ingin berhukum kepada thagut (segala sesuatu yang diibadahi selain Allah), padahal mereka diperintahkan untuk kafir kepada thagut tersebut. Dan Syaitan ingin menyesatkan mereka dengan kesesatan yang jauh. [QS. an-Nisaa: 60]

Lalu, Apa yang Harus Dibenci?

Sebagaimana kebencian Allah yang terbesar tertuju pada kekufuran dengan segenap pernak-perniknya, maka seorang mukmin haruslah memberikan porsi kebencian yang terbesar pula pada kekufuran, pada simbol-simbol kekufuran, pada sarana kekufuran dan pemuja kekufuran. Inilah bentuk kebencian yang bernilai ibadah di sisi Allah.
Atas alasan tersebut, Islam mengharamkan kita untuk menjadikan orang-orang kafir sebagai teman akrab. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi teman akrab kalian dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” [QS. an-Nisaa’: 144]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا آبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الإيمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi wali (penolong dan pelindungmu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan. Siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. [QS. at-Taubah: 23]
Rasulullah bahkan melarang kita untuk tinggal di tengah-tengah komunitas mereka (orang-orang kafir). Beliau memberikan peringatan keras akan hal ini dalam sabdanya:
مَنْ جَامَعَ الْمُشْرِكَ وَسَكَنَ مَعَهُ، فَإنَّهُ مِثْلُهُ
“Barangsiapa berkumpul dengan orang musyrik (kafir) dan tinggal bersamanya, maka dia semisal dengannya (orang kafir tersebut)…” [Abu Dawud: 2787, dicantumkan oleh Imam al-Albani rahimahullaah dalam ash-Shahiihah no. 2330]
Rasulullah juga melarang kita untuk menyerupai mereka (orang-orang kafir) dalam ritual agama, tradisi, gaya hidup dan karakteristik lahiriyah yang menjadi ciri khas mereka. Kaum muslim diperintahkan untuk tampil beda dengan orang-orang kafir, bukan justru mengekor. Rasulullah bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia bagian dari kaum tersebut.” [Ahmad: 2/50 dan 92, Dishahihkan Imam al-Albani dalam Irwaa-ul Ghaliil no. 1269]
Imam ash-Shon’aaniy rahimahullaah (wafat: 1182-H) mengomentari hadits di atas dalam kitab Subulus Salaam (2/646-647). Beliau mengatakan:
وَالْحَدِيثُ دَالٌّ عَلَى أَنَّ مَنْ تَشَبَّهَ بِالْفُسَّاقِ كَانَ مِنْهُمْ أَوْ بِالْكُفَّارِ أَوْ بِالْمُبْتَدِعَةِ فِي أَيِّ شَيْءٍ مِمَّا يَخْتَصُّونَ بِهِ مِنْ مَلْبُوسٍ أَوْ مَرْكُوبٍ أَوْ هَيْئَةٍ، قَالُوا: فَإِذَا تَشَبَّهَ بِالْكَافِرِ فِي زِيٍّ وَاعْتَقَدَ أَنْ يَكُونَ بِذَلِكَ مِثْلَهُ كَفَرَ
“Hadits tersebut menunjukkan bahwa orang yang menyerupakan diri dengan kaum fasik, maka dia termasuk bagian dari mereka, (demikian juga halnya dengan) orang yang menyerupakan diri dengan kaum kafir, atau ahli bidah, pada segala sesuatu yang merupakan ciri khas mereka (baik dalam hal); pakaian (yang merupakan ciri has orang kafir), kendaraan (yang merupakan ciri has orang kafir) , atau penampilan (yang merupakan ciri has orang kafir). Para ulama mengatakan: “jika seseorang menyerupakan diri dengan orang kafir dengan kostum tertentu (yang merupakan ciri has orang kafir), dan dia berkeyakinan bahwa dengan kostum tersebut dia akan mirip dengan mereka, maka dia telah kafir (keluar dari Islam)…

Hari Raya Mereka, Paling Pantas untuk Ditinggalkan

Tentu saja ciri khas yang paling melekat dengan orang-orang kafir adalah ritual keagamaan mereka, terutama hari raya mereka. Hari raya orang kafir pada hakikatnya adalah perayaan kekufuran yang berarti juga perayaan caci maki terhadap Allah.
Nah, berangkat dari penjelasan di atas, kita sudah sepatutnya merenung akan hakikat perayaan orang-orang kafir (semisal perayaan Natal, parade Ogoh-Ogoh, Imlek, dll). Hari Raya orang-orang kafir sejatinya adalah pesta caci-maki dan olok-olokan terhadap Allah, Raja alam semesta, Pencipta segala, dan Pemilik jagad semesta. Lihatlah bagaimana simbol-simbol kekufuran diagung-agungkan dalam hari raya mereka dalam beragam bentuk dan warnanya. Lalu pantaskah kaum muslimin yang telah mengucapkan ikrar setia sampai mati di atas kalimat Laa ilaaha illallaah, menyaksikan atau bahkan ikut larut dan mengucapkan selamat atas hari raya mereka, tanpa sedikitpun ada rasa marah atau secuil penolakan di hati? Sementara Allah telah melaknat kemusyrikan dan kekufuran berikut pelaku, segenap simbol dan atribut-atributnya? Lantas telah hinggap di mana keimanan dan cinta kita pada Allah? Naudzubillaah.

Renungkan! Apa Kata al-Qur-aan

Allah dengan tegas telah melarang kita untuk duduk bersama orang-orang yang tengah melakukan kemaksiatan, termasuk menonton upacara-upacara yang bertentangan dengan ajaran Islam. Terlebih lagi jika upacara tersebut merupakan simbol kesyirikan yang sangat terlaknat di mata Allah:
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا
“dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kalian di dalam Al Quran bahwa apabila kalian mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), Maka janganlah kalian duduk bersama mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kalian berbuat demikian), tentulah kalian serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam. [QS. An-Nisaa: 140]
Ketika menafsirkan ayat di atas, al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullaah (wafat: 774-H) mengatakan:
إِذَا ارْتَكَبْتُمِ النَّهْيَ بَعْدَ وُصُولِهِ إِلَيْكُمْ، وَرَضِيتُمْ بِالْجُلُوسِ مَعَهُمْ فِي الْمَكَانِ الَّذِي يُكْفَرُ فِيهِ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيُسْتَهْزَأُ وَيُنْتَقَصُ بِهَا، وَأَقْرَرْتُمُوهُمْ عَلَى ذَلِكَ، فَقَدْ شَارَكْتُمُوهُمْ فِي الَّذِي هُمْ فِيهِ. فَلِهَذَا قَالَ تَعَالَى: {إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ} أَيْ فِي الْمَأْثَمِ
“Jika kalian melakukan hal-hal yang terlarang, setelah sampai kepada kalian al-Qur’an (menjelaskan keharamannya-pent), dan kalian rela duduk-duduk bersama mereka di tempat kekufuran dan olok-olokan terhadap ayat-ayat Allah, lantas kalian mengiyakannya (tanpa ada pengingkaran-pent), maka sungguh kalian telah berserikat dengan mereka dalam perbuatan tersebut. Oleh karena itu Allah mengatakan: ‘…maka jika begitu, kalian sama dengan mereka’ dalam dosa.” [Tafsir Ibnu Katsir: 2/435, Daar ath-Thayyibah, Tahqiq: Saami Muhammad Salaamah]
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Naashir as-Sa’di rahimahullaah (wafat: 1376-H) menambahkan dalam kitab tafsirnya Taisiir Kariimir Rahmaan (1/210, Cet. Mu-assasah ar-Risaalah, 1420-H):
وكذلك يدخل فيه حضور مجالس المعاصي والفسوق التي يستهان فيها بأوامر الله ونواهيه، وتقتحم حدوده….(إلى قوله رحمه الله)…{إِنَّكُمْ إِذًا} أي: إن قعدتم معهم في الحال المذكورة {مِثْلُهُمْ} لأنكم رضيتم بكفرهم واستهزائهم، والراضي بالمعصية كالفاعل لها، والحاصل أن من حضر مجلسا يعصى الله به، فإنه يتعين عليه الإنكار عليهم مع القدرة، أو القيام مع عدمها.
“(Larangan dalam ayat di atas juga) mencakup larangan menghadiri majelis-majelis (atau upacara-upacara-pent) kefasikan yang di dalamnya perintah-perintah dan larangan-larangan Allah diremehkan, batasan-batasan Allah didobrak….. (sampai pada ucapan beliau) … Jika kalian duduk bersama mereka dalam kefasikan tersebut (meskipun kalian tidak berbuat-pent) maka kalian sama seperti mereka (yang berbuat-pent), karena kalian ridha dengan kekufuran dan olok-olokan mereka. Sementara orang yang ridha dengan kemaksiatan, sama (dosanya-pent) dengan pelaku kemaksiatan tersebut. Kesimpulannya, barangsiapa menghadiri majelis (atau upacara-upacara-pent) yang di dalamnya ada kemaksiatan pada Allah, maka wajib ‘ain baginya untuk mengingkari kemasiatan tersebut sesuai kemampuan, atau (jika tidak mampu-pent), dia harus bangkit meninggalkan majelis tersebut.”
Dalam al-Qur-aan, Allah memberikan kepada kita teladan yang agung dalam sosok Ibrahim Khaliilurrahmaan. Teladan dalam menyikapi orang-orang yang mencaci-maki Allah dengan kekufuran yang mereka jadikan sebagai agama:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sungguh telah ada suri teladan yang baik bagi kalian dari Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya tatkala mereka berkata kepada kaum mereka (yang kafir): ‘sungguh kami telah baraa’ (berlepas diri) dari kalian dan dari apa-apa yang kalian sembah selain Allah. Kami ingkar pada kalian, dan telah jelas permusuhan dan kebencian antara kami dengan kalian selamanya sampai kalian mentauhidkan Allah semata.” [QS. al-Mumtahanah: 4]
Allah juga berfirman tentang ‘Ibaadurrahmaan (hamba-hamba Allah yang teristimewa, yang disifatkan dalam QS. Al-Furqon: 63-76). Mereka inilah yang benar-benar telah mengaplikasikan cinta dan benci karena Allah dalam setiap nafas kehidupannya. Hingga mereka pun layak meraih cinta-Nya. Simak seperti apa salah satu sifat mereka:
وَالَّذِينَ لا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan (mereka ‘Ibaadurrahmaan itu adalah) orang-orang yang tidak menyaksikan az-Zuur, dan apabila mereka melewati majelis al-Laghwu, mereka melintas saja dengan penuh kehormatan (berpaling dan tidak mau menyaksikannya-pent).” [QS. Al-Furqon: 72]
Imam ath-Thabary rahimahullaah (wafat: 310-H) dalam kitab tafsirnya yang terkenal, Jaami’ul Bayaan fii Ta-’wiilil Qur-aan (19/313-315, Cet. Mu-assasah ar-Risaalah 1420-H), beliau menukil sekian banyak tafsiran ulama salaf tentang az-Zuur dan al-Laghwu pada ayat di atas. Kesimpulannya; termasuk dalam makna az-Zuur dan al-Laghwu adalah; “acara-acara kesyirikan terhadap Allah”, dan seluruh “acara-acara kemaksiatan lainnya”.

Belajar dari Sikap Baraa’ Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani raimahullâh

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani rahimahullaah (wafat: 561-H), menjelaskan bagaimana kebencian dan permusuhan karena Allah ditegakkan oleh ahlussunnah terhadap para penyeleweng agama dari kalangan ahlul bid’ah (da’i-da’i & tokoh aliran sesat). Dalam kitabnya al-Ghun-yah (jilid 1/ hal. 165, cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah) beliau mengatakan:
ألَّا يُكَاثِرُ أَهْلَ الْبِدَعِ وَلَا يُدَانِيْهِمْ، وَلَا يُسَلِّمُ عَلَيْهِمْ
“Agar (selayaknya ahlussunnah) tidak membiarkan ahlul bid’ah (da’i-da’i aliran sesat) berkembang, tidak mendekat pada mereka, dan tidak mengucapkan salam pada mereka…”
Sampai-sampai beliau mengatakan:
ولا يجالسهم ولا يقرب منهم ولا يهنيهم في الأعياد وأوقات السرور، ولا يصلي عليهم إذا ماتوا، ولا يترحم عليهم إذا ذكروا بال يباينهم ويعاديهم في الله عز وجل، معتقدا ومحتسبا بذلك الثواب الجزيل والأجر الكثير.
“Dan tidak duduk bersama mereka, tidak mendekati mereka, tidak mengucapkan selamat pada perayaan-perayaan mereka dan pada waktu-waktu mereka bergembira, tidak menyolatkan jenazah mereka, tidak mengucapkan (do’a) “rahimahullaah” ketika nama mereka disebut. Bahkan pisah dari mereka, memusuhi mereka karena Allah ‘azza wa jalla, atas dasar keyakinan dan harapan dari sikap (Baraa’) tersebut akan pahala yang besar dan ganjaran yang banyak.”
Jika demikian sikap Syaikh Abdul Qadir al-Jailani rahimahullah terhadap segelintir muslim yang menjadi tokoh dan penyeru kesesatan, maka bisa dibayangkan bagaimana sikap (baraa’) beliau terhadap orang-orang kafir.
Karena menurut keyakinan ahlussunnah, seorang muslim yang fasik tetap berhak mendapatkan perlakuan walaa’ dari muslim yang lain seukuran iman yang masih bersemayam dalam hatinya, kendati juga tetap disikapi dengan baraa’ sesuai kadar kefasikannya. Berbeda halnya dengan orang-orang kafir, yang tidak memiliki pokok iman. Maka baraa’ kita terhadap mereka haruslah mutlak 100%, dan walaa’ tidak boleh kita berikan kepada mereka sekalipun hanya 0,1%.

Penutup

Kesempurnaan cinta pada Allah dan Rasul-Nya (tidak bisa tidak) haruslah dibarengi dengan kebencian terhadap apa-apa yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Atas dasar inilah Allah mengekalkan permusuhan anak Adam dengan Iblis dan antek-anteknya. Atas landasan ini, Ibrahim berdebat sengit dengan bapaknya. Atas pijakan ini, Allah mewajibkan Nabi kita dan segenap Sahabatnya untuk hijrah dan menegakkan jihad (memisahkan jiwa dan raga dari komunitas kesyirikan, yang notebene komunitas tersebut adalah keluarga dan kerabat mereka di Makkah). Atas dasar aqidah (al-Walaa’ wal Baraa’) ini pula Allah memisahkan kita menjadi 2 golongan; penghuni surga dan penghuni neraka, pengikut Nabi dan pengikut Iblis. Jika pemisahan antara keduanya tidak kita tunjukkan dengan raga (apalagi tidak dengan hati), maka pantaskah kita menggolongkan diri ke dalam golongan para Nabi dan pengikutnya?
Maka tunjukkanlah sikap wahai orang-orang beriman yang mengaku mencintai Allah dan Rasul-Nya! Merelakan mata menyaksikan upacara-upacara kesyirikan adalah salah satu dosa besar di antara dosa-dosa yang terbesar. Menyaksikannya adalah keharaman yang nyata, berpaling darinya adalah ketaatan dan bukti cinta.
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah (Wahai Muhammad), jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku. Niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Pengasih.” [QS. Ali Imron: 31]
Cukuplah kalimat emas berikut (yang konon diucapkan oleh Imam Syafi’I, lihat Fathullaah al-Hamiid hal. 348, asy-Syaamilah), menjadi jawaban bagi mereka yang mengklaim cinta pada Allah dan Islam:
تَعْصِي الإلَهَ وَأَنْتَ تَزْعُمُ حُبَّهُ ** هَذَا وَرَبِّيْ فِي الْقِيَاسِ شَنِيْعُ
لَوْ كَانَ حُبُّكَ صَادِقًا لَأَطَعْتَهُ ** إنَّ الْمُحِبَّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيْعُ
Engkau durhakai sesembahanmu, sementara engkau mendakwa cinta pada-Nya
Sungguh ini–demi Tuhanku–adalah perbandingan yang tercela
Andai dakwaan cintamu tulus, niscaya engkau ‘kan taat pada-Nya
Karena sejatinya, seorang pecinta akan taat pada yang dicinta.
Membenci apa yang dibenci Allah adalah kendaraan yang akan menjauhkan kita dari Hizbusy-syaitan dan antek-anteknya. Sebagaimana mencintai apa yang dicintai oleh Allah, adalah jembatan untuk bergabung ke dalam Hizbullaah, bersama barisan para Nabi dan Wali-Wali-Nya. Di sinilah cinta dan benci bernilai ibadah di sisi-Nya.

***

Download versi e-book (pdf) di sini

Tulisan ini disusun di bawah bimbingan & arahan Guru-Guru kami (hafizhahumullâh):

Ust. Mukti Ali Abdulkarim, Lc. * Ust. Fauzi Athar * Ust. Mahsun Saleh
* Ust. Fakhruddin Abdurrahman, Lc. * Ust. Zahid Zuhendra, Lc. * Ust. Masyhuri, Lc.
* Ust. Sofyan Bafin Zen * Ust. Mizan Qudsiyyah, Lc.
***
Selesai ditelaah ulang dan disempurnakan kembali pada  24 Rabi’ul Akhir 1434 / 06 Maret 2013.
Johan Saputra Halim (Abu Ziyan)
Artikel:

Read more...

Kamis, 05 Maret 2015

Bantahan Untuk Habib Rizieq "Benarkah Ibnu Taimiyyah Mencela Fatimah Dan Ahlul Bait?"

0 comments
Fitnahan terus berlanjut dan berlanjut untuk syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Begitulah musuh dakwah sunnah dan tauhid selalu mencela, hal tersebut terjadi karena kejahilan mereka atau karena mereka adalah pengikut hawa nafsu. Salah satu contohnya mereka menyebarkan fitnahan yang keji kepada syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. 

Salah satu tulisan yang sedikit menggelitik adalah tulisan Habib Rizieq yang memfitnah Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Dalam situs pribadinya, Habib Rizieq memfitnah Ibnu Taimiyyah tanpa burhan dan bukti. Dalam artikel barunya, dia menulis panjang lebar mengenai syi’ah dan wahhabi. Saya tidak tertarik membahas syi’ah dalam artikel yang ditulisnya, akan tetapi saya jauh lebih tertarik untuk membahas fitnahan yang dia tuduhkan kepada syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Read more...