Membangun kehidupan rumah tangga yang harmonis memang menjadi
dambaan. Namun tentu saja untuk mencapainya bukan persoalan mudah. Butuh
kesiapan dalam banyak hal terutama dari sisi ilmu agama. Sesuatu yang
mesti dipunyai seorang istri, terlebih sang suami.
Tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa menikah berarti menjalani
hidup baru. Karena dalam kehidupan pasca pernikahan memang dijumpai
banyak hal yang sebelumnya tidak didapatkan saat melajang. Tentunya
semua itu bisa dirasakan oleh mereka yang telah membangun mahligai rumah
tangga.
Pernikahan juga merupakan kehidupan orang dewasa.
Sebab, banyak hal
yang harus dihadapi dan diselesaikan dengan pikiran orang yang dewasa,
bukan dengan pikiran kanak-kanak. Masalah hubungan suami istri,
pendidikan anak, ekonomi keluarga, hubungan kemasyarakatan, dan lain
sebagainya, mau tidak mau akan hadir dalam kehidupan mereka yang telah
berkeluarga.
Maka, tidak salah pula bila dikatakan untuk menikah itu butuh ilmu
syar‘i, baik pihak istri, terlebih lagi pihak suami sebagai qawwam
(pemimpin) bagi keluarganya. Karena dengan ilmu yang disertai amalan,
akan tegak segala urusan dan akan lurus jalan kehidupan. Namun sangat
disayangkan, sisi yang satu ini sering luput dari persiapan dan sering
terabaikan, baik sebelum pernikahan terlebih lagi pasca pernikahan.
Pendidikan Keluarga
Allah Ta’ala berfirman:
“Kaum laki-laki (suami) adalah qawwam1 bagi kaum wanita (istri).” (An-Nisaa’: 34)
Salah satu tugas suami sebagai qawwam adalah memberikan pendidikan
agama kepada istri dan anak-anaknya, meluruskan mereka dari
penyimpangan, dan mengenalkan mereka kepada kebenaran. Karena Allah
Ta’alatelah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan
keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu.” (At-Tahrim: 6)
Menjaga keluarga yang dimaksud dalam butiran ayat yang mulia ini
adalah dengan cara mendidik, mengajari, memerintahkan mereka, dan
membantu mereka untuk bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla, serta
melarang mereka dari bermaksiat kepada-Nya. Seorang suami wajib
mengajari keluarganya tentang perkara yang di-fardhu-kan oleh Allah
Ta’ala. Bila ia mendapati mereka berbuat maksiat segera dinasehati dan
diperingatkan. (Tafsir Ath-Thabari, 28/166, Ruhul Ma‘ani, 28/156)
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa`di Rahimahullahu ta’ala
berkata: “Menjaga jiwa dari api neraka bisa dilakukan dengan
mengharuskan jiwa tersebut untuk berpegang dengan perintah Allah,
melaksanakan apa yang diperintahkan, menjauhi apa yang dilarang, dan
bertaubat dari perkara yang mendatangkan murka dan adzab-Nya. Di samping
itu, menjaga istri dan anak-anak dilakukan dengan cara mendidik dan
mengajari mereka, serta memaksa mereka untuk taat kepada perintah Allah.
Seorang hamba tidak akan selamat kecuali bila ia menegakkan perkara
Allah pada dirinya dan pada orang-orang yang berada di bawah
perwaliannya seperti istri, anak-anak, dan selain mereka.” (Taisir
Al-Karimir Rahman, hal. 874)
Ayat ini menunjukkan wajibnya suami mengajari anak-anak dan istri
tentang perkara agama dan kebaikan serta adab yang dibutuhkan. Hal ini
semisal dengan firman Allah Ta’alakepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi
wasallam:
“Perintahkanlah keluargamu untuk melaksanakan shalat dan bersabarlah dalam menegakkannya.” (Thaha: 132)
“Berilah peringatan kepada karib kerabatmu yang terdekat.” (Asy-Syu`ara: 214)
Ini menunjukkan keluarga yang paling dekat dengan kita memiliki
kelebihan dibanding yang lain dalam hal memperoleh pengajaran dan
pengarahan untuk taat kepada Allah Ta’ala. (Ahkamul Qur’an, 3/697)
Malik Ibnul Huwairits Radhiyallahu ta’ala ‘anhu mengabarkan: “Kami
mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan ketika itu kami
adalah anak-anak muda yang sebaya. Lalu kami tinggal bersama beliau di
kota Madinah selama sepuluh malam. Kami mendapati beliau Shallallahu
‘alaihi wasallam adalah seorang yang penyayang lagi lembut. Saat sepuluh
malam hampir berlalu, beliau menduga kami telah merindukan keluarga
kami karena sekian lama berpisah dengan mereka. Beliau pun bertanya
tentang keluarga kami, maka cerita tentang mereka pun meluncur dari
lisan kami. Setelahnya beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Kembalilah kalian kepada keluarga kalian, tinggallah di tengah
mereka dan ajari mereka, serta perintahkanlah mereka.” (Shahih, HR.
Al-Bukhari no. 628 dan Muslim no. 674)
Dalam hadits di atas, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan
kepada shahabatnya untuk memberikan taklim (pengajaran) kepada keluarga
dan menyampaikan kepada mereka ilmu yang didapatkan saat bermajelis
dengan seorang ‘alim.
Dengan penjelasan yang telah lewat, dapat dipahami bahwa seorang
suami/ kepala rumah tangga harus memiliki ilmu yang cukup untuk mendidik
anak istrinya, mengarahkan mereka kepada kebenaran, dan menjauhkan
mereka dari penyimpangan.
Namun sangat disayangkan, kenyataan yang kita lihat banyak kepala
keluarga yang melalaikan hal ini. Yang ada di benak mereka hanyalah
bagaimana mencukupi kebutuhan materi keluarganya sehingga mereka
tenggelam dalam perlombaan mengejar dunia, sementara kebutuhan spiritual
tidak masuk dalam hitungan. Anak dan istri mereka hanya dijejali dengan
harta dunia, bersenang-senang dengannya, namun bersamaan dengan itu
mereka tidak mengerti tentang agama.
Paling tidak, bila seorang suami tidak bisa mengajari keluarganya,
mungkin karena kesibukannya atau keterbatasan ilmunya, ia mencarikan
pengajar agama untuk anak istrinya, atau mengajak istrinya ke majelis
taklim, menyediakan buku-buku agama, kaset-kaset ceramah/ taklim sesuai
dengan kemampuannya, dan menganjurkan keluarganya untuk membaca/
mendengarnya.
Mendidik Istri
Memasuki masa-masa awal pernikahan, semestinya seorang suami telah
merencanakan pendidikan agama bagi istrinya. Minimalnya ia mempunyai
pandangan ke arah sana. Dan sebelum menjadi seorang ayah, semestinya ia
telah menyiapkan istrinya untuk menjadi pendidik anak-anaknya kelak
karena:
“Ibu adalah madrasah (sekolah) bagi anak-anaknya”, kata penyair Arab.
Perlu juga diperhatikan, bahwa mendapatkan pengajaran agama termasuk
salah satu hak istri yang seharusnya ditunaikan oleh suami dan termasuk
hak seorang wanita yang harus ditunaikan walinya. Namun pada prakteknya,
hak ini seringkali tidak terpenuhi sebagaimana mestinya. Sehingga tepat
sekali ucapan Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi‘i Rahimahullahu ta’ala
yang membagi manusia menjadi tiga macam dalam mengurusi wanita:
Pertama: Mereka yang melepaskan wanita begitu saja sekehendaknya,
membiarkannya bepergian jauh tanpa mahram, bercampur baur di
sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, di tempat kerja seperti kantor dan
di rumah sakit. Sehingga mengakibatkan rusaknya keadaan kaum muslimin.
Kedua: Mereka yang menyia-nyiakan wanita tanpa taklim, membiarkannya
seperti binatang ternak, sehingga ia tidak tahu sedikit pun kewajiban
yang Allah bebankan padanya. Wanita seperti ini akan menjatuhkan dirinya
kepada fitnah dan penyelisihan terhadap perintah-perintah Allah Azza wa
Jalla, bahkan akan merusak keluarganya.
Ketiga: Mereka yang memberikan pengajaran agama kepada wanita sesuai
dengan kandungan Al Qur’an dan As Sunnah, karena melaksanakan perintah
Allah :
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan
keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu.” (At- Tahrim: 6)
Dan karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya/
dimintai tanggung jawab tentang apa yang dipimpinnya.”2 (Shahih, HR.
Al-Bukhari no. 893 dan Muslim no. 1829)
(Nashihati lin Nisa’, Ummu ‘Abdillah Al-Wadi`iyyah, hal. 7-8)
Seorang istri perlu diajari tentang perkara yang dibutuhkannya dalam
kehidupan sehari-hari, siang dan malamnya, tentang tauhid, bahaya
syirik, maksiat dan penyakit-penyakit hati berikut pengobatannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri menyediakan waktu khusus
untuk mengajari para wanita. Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ta’ala
‘anhu berkata: “Datang seorang wanita kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, lalu ia berkata:
“’Wahai Rasulullah! Kaum laki-laki telah pergi membawa haditsmu, maka
berikanlah untuk kami satu hari yang khusus di mana kami dapat
mendatangimu untuk belajar kepadamu dari ilmu yang Allah telah ajarkan
padamu.’ Beliau pun bersabda: ‘Berkumpullah kalian pada hari ini dan itu
di tempat ini (yakni beliau menyebutkan waktu dan tempat tertentu)’.
Hingga mereka pun berkumpul pada hari dan tempat yang dijanjikan untuk
mengambil ilmu dari beliau sesuai dengan apa yang diajarkan Allah kepada
beliau.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 101 dan Muslim no. 2633)
Bahkan istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam “lahir”
dari madrasah nubuwwah dan mereka menuai bekal ilmu yang banyak terutama
Ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang besar dalam asuhan
madrasah yang mulia ini. Sepeninggal suami mereka, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka menjadi pendidik umat bersama
dengan para shahabat yang lain, semoga Allah meridhai mereka.
Gambaran Pengajaran Seorang ‘Alim terhadap Keluarga Mereka
Para pendahulu kita yang shalih (salafunash shalih) sangat
mementingkan pendidikan agama bagi keluarga mereka. Di samping mereka
berdakwah kepada umat di luar rumah, mereka juga tidak melupakan
orang-orang yang berada dalam rumah mereka (keluarga). Tidak seperti
kebanyakan manusia pada hari ini yang sibuk dengan urusan mereka di luar
rumah sehingga melalaikan pendidikan istrinya.
Bahkan sangat disayangkan hal ini juga menimpa keluarga da‘i. Ia
sibuk berdakwah kepada masyarakatnya sementara istrinya di rumah tidak
mengerti tata cara shalat yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam, tidak tahu cara menghilangkan najis, dan sebagainya. Yang
lebih parah, istri atau anaknya tidak mengerti tentang tauhid dan
syirik3. Bandingkan dengan apa yang ada pada salaf!
Lihatlah keluarga Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani Rahimahullahu
ta’ala. Beliau demikian bersemangat menyebarkan ilmu di tengah
keluarganya dan kerabatnya sebagaimana semangatnya menyampaikan ilmu
kepada orang lain. Kesibukan beliau dalam dakwah di luar rumah dan dalam
menulis ilmu tidaklah melalaikan beliau untuk memberi taklim kepada
keluarganya. Dari hasil pendidikan ini lahirlah dari keluarga beliau
orang-orang yang terkenal dalam ilmu khususnya ilmu hadits, seperti:
saudara perempuannya Sittir Rakb bintu ‘Ali bin Muhammad bin Muhammad
bin Hajar Al-’Asqalani, istrinya Uns bintu Al-Qadhi Karimuddin Abdul
Karim bin ‘Abdil ‘Aziz, putrinya Zain Khatun, Farhah, Fathimah, ‘Aliyah,
dan Rabi`ah. (Inayatun Nisa bil Haditsin Nabawi, hal. 126-127)
Lihat pula bagaimana Sa’id Ibnul Musayyab membesarkan dan mengasuh
putrinya dalam buaian ilmu hingga ketika menikah suaminya mengatakan ia
mendapati istrinya adalah orang yang paling hapal dengan kitabullah,
paling mengilmuinya, dan paling tahu tentang hak suami. (Al-Hilyah,
2/167-168, As-Siyar, 4/233-234)
Demikian pula kisah keilmuan putri Al-Imam Malik Rahimahullahu
ta’ala. Dengan bimbingan ayahnya, ia dapat menghapal Al-Muwaththa’ karya
sang Imam. Bila ada murid Al-Imam Malik membacakan Al-Muwaththa’ di
hadapan beliau, putrinya berdiri di belakang pintu mendengarkan bacaan
tersebut. Hingga ketika ada kekeliruan dalam bacaan ia memberi isyarat
kepada ayahnya dengan mengetuk pintu. Maka ayahnya (Al-Imam Malik) pun
berkata kepada si pembaca: “Ulangi bacaanmu karena ada kekeliruan”.
(Inayatun Nisa’, hal. 121)
Perhatian pendahulu kita rahimahumullah terhadap pendidikan
keluarganya ternyata juga kita dapatkan dari ulama yang hidup di zaman
kita ini, seperti Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi‘i Rahimahullahu
Ta’ala. Dalam sehari beliau menyempatkan waktu untuk mengajari anak
istrinya tentang perkara-perkara agama yang mereka butuhkan, hingga
mereka mapan dalam ilmu dan dapat memberi faedah kepada saudara mereka
sesama muslimah dalam majelis yang mereka adakan atau dari karya tulis
yang mereka hasilkan. Demikian kisah ulama kita dengan keluarganya, lalu
di mana tempat kita bila dibanding dengan mereka ?
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.
Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah