‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa
‘Abdurrazzaaq rahimahullah berkata :
عَنِ الثَّوْرِيِّ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ التَّمِيمِيِّ، قَالَ: " سُئِلَ ابْنُ عَبَّاسٍ، عَنْ تَحْرِيكِ الرَّجُلِ إِصْبَعَهُ فِي الصَّلاةِ، فَقَالَ: ذَلِكَ الإِخْلاصُ "
Dari Ats-Tsauriy, dari Abu Ishaaq, dari At-Tamiimiy, ia berkata : Ibnu ‘Abbaas pernah ditanya tentang seseorang yang menggerak-gerakkan jarinya ketika shalat, lalu ia menjawab : “Itu adalah keikhlasan” [Al-Mushannaf, no. 3244; sanadnya shahih].
‘Abdurrazzaaq mempunyai mutaabi’ dari :
1. Wakii bin Al-Jarraah rahimahullah.
حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ التَّمِيمِيِّ، عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: " هُوَ الْإِخْلَاصُ يَعْنِي الدُّعَاءَ بِالْإِصْبَعِ "
Telah
menceritakan kepada kami Wakii’, dari Sufyaan, dari Abu Ishaaq, dari
Tamiimiy, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Itu adalah keikhlasan” –
yaitu doa dengan jari” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/484 no.
8515; sanadnya shahih].
2. ‘Abdullah bin Al-Waliid rahimahullah.
أَخْبَرَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، ثنا أَبُو النَّصْرِ الْعِرَاقِيُّ، ثنا
سُفْيَانُ بْنُ مُحَمَّدٍ، ثنا عَلِيُّ بْنُ الْحَسَنِ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ
بْنُ الْوَلِيدِ، عَنْ سُفْيَانَ، فَذَكَرَهُنَّ (ورَوَاهُ الثَّوْرِيُّ
فِي الْجَامِعِ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ التَّمِيمِيِّ وَهُوَ
أَرْبَدَةُ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: " هُوَ الإِخْلاصُ ")
Telah
mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr bin Ibraahiim : Telah menceritakan
kepada kami Abun-Nashr Al-‘Iraaqiy : Telah menceritakan kepada kami
Sufyaan bin Muhammad : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Al-Hasan
: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Al-Waliid, dari Sufyaan,
lalu ia menyebutkannya (yaitu riwayat Ats-Tsauriy dalam Al-Jaami’,
dari Abu Ishaaq, dari At-Tamiimiy – ia adalah Arbadah - , dari Ibnu
‘Abbaas, ia berkata : “Itu adalah keikhlasan”) [Diriwayatkan oleh
Al-Baihaqiy 2/133 no. 2795; sanadnya dla’iif, karena kemajhulan Abun-Nashr Al-‘Iraaqiy dan Sufyaan bin Muhammad].
Sufyaan mempunyai mutaabi’ dari :
1. Syu’bah rahimahullah.
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا
إِسْحَاقَ يُحَدِّثُ أَنَّهُ سَمِعَ رَجُلًا مِنْ بَنِي تَمِيمٍ، قَالَ:
سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ عَنْ قَوْلِ الرَّجُلِ بِإِصْبَعِهِ هَكَذَا يَعْنِي فِي الصَّلَاةِ، قَالَ: " ذَاكَ الْإِخْلَاصُ "
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far : Telah menceritakan
kepada kami Syu’bah, ia berkata : Aku mendengar Abu Ishaaq menceritakan
bahwasannya ia mendengar seorang laki-laki dari Bani Tamiim yang berkata
: Aku pernah bertanya kepada Ibnu ‘Abbaas tentang doa seseorang dengan
jarinya begini – yaitu dalam shalat - . Ia berkata : “Itu merupakan
keikhlasan” [Diriwayatkan oleh Ahmad 5/57; sanadnya shahih].
2. Al-A’masy rahimahullah.
أَخْبَرَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، ثنا أَبُو الْعَبَّاسِ
مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، ثنا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الْجَبَّارِ، ثنا
ابْنُ فُضَيْلٍ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ
الْعَيْزَارِ، قَالَ: سُئِلَ ابْنُ عَبَّاسٍ عَنِ الرَّجُلِ يَدْعُو يُشِيرُ بِأُصْبُعِهِ، فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: " هُوَ الإِخْلاصُ "
Telah
mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah Al-Haafidh : Telah
menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin Ya’quub : Telah
menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Abdil-Jabbaar : Telah menceritakan
kepada kami Ibnu Fudlail, dari Al-A’masy, dari Abu Ishaaq, dari
Al-‘Aizaar, ia berkara : Ibnu ‘Abbaas pernah ditanya tentang seseorang
yang berdoa dengan berisyarat dengan jarinya, maka ia menjawab : “Itu
adalah keikhlasan” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy 2/133 no. 2794;
sanadnya dla’iif, karena ‘an’anah Al-A’masy dan kelemahan Ahmad bin ‘Abdil-Jabbaar Al-‘Uthaaridiy].
Penyebutan Al-‘Aizaar dalam sanad di atas keliru, karena yang benar – wallaahu a’lam
– adalah Arbadah At-Tamiimiy sebagaimana riwayat sebelumnya. Kekeliruan
ini kemungkinan besar berasal dari Ahmad bin ‘Abdil-Jabbaar.
Ibnul-Mundzir rahimahullah berkata :
وَقَدْ رُوِّينَا، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ قَالَ: تَحْرِيكُ الرَّجُلِ أُصْبُعَهُ فِي الصَّلاةِ، قَالَ: " ذَاكَ الإِخْلاصُ "
“Dan
telah diriwayatkan kepada kami dari Ibnu ‘Abbaas, bahwasannya ia
berkata : “Seseorang menggerak-gerakkan jarinya ketika shalat, itu
merupakan keikhlasan” [Al-Ausath, no. 1535].
Mujaahid bin Jabr Al-Makkiy rahimahullah
‘Abdurrazzaaq rahimahullah berkata :
عَنِ الثَّوْرِيِّ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ الأَسْوَدِ، عَنْ مُجَاهِدٍ، قال: " تَحْرِيكُ الرَّجُلِ إِصْبَعَهُ فِي الصَّلاةِ مُقْمِعَةٌ لِلشَّيْطَانِ "
Dari
Ats-Tsauriy, dari ‘Utsmaan bin Al-Aswad, dari Mujaahid, ia berkata :
“Seseorang yang menggerak-gerakkan jarinya ketika shalat adalah alat
pemukul buat setan” [Al-Mushannaf no. 3245; sanadnya shahih].
Ats-Tsauriy mempunyai mutaabi’ dari Hafsh bin Ghiyaats rahimahumallah.
حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ الْأَسْوَدِ، عَنْ مُجَاهِدٍ، أَنَّهُ قَالَ: " الدُّعَاءُ هَكَذَا، وَأَشَارَ بِإِصْبَعٍ وَاحِدَةٍ، مَقْمَعَةٌ لِلشَّيْطَانِ "
Telah
menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyaats, dari ‘Utsmaan bin
Al-Aswad, dari Mujaahid, bahwasannya ia berkata : “Berdoa dengan cara
begini – dan ia berisyarat dengan satu jarinya – adalah alat pemukul
buat setan” [Al-Mushannaf, 2/484].
Dibawakan juga oleh Al-Baihaqiy rahimahullah, dimana ia berkata :
وَرُوِّينَا عَنْ مُجَاهِدٍ، أَنَّهُ قَالَ: تَحْرِيكُ الرَّجُلِ أُصْبُعَهُ فِي الْجُلُوسِ فِي الصَّلاةِ مُقْمِعَةٌ لِلشَّيْطَانِ
“Dan
telah diriwayatkan kepada kami dari Mujaahid, bahwasannya ia berkata :
“Seseorang yang menggerak-gerakkan jarinya ketika duduk dalam shalat
merupakan alat pemukul buat setan” [Al-Kubraa, 2/132].
Komentar :
Riwayat Ibnu ‘Abbaas dan Mujaahid ini menunjukkan bahwa menggerak-gerakkan jari (tahriik) saat tasyahud dalam shalat telah dilakukan oleh salaf kita. Selain itu, riwayat di atas juga memberikan faedah bahwa lafadh isyarat (dengan jari) tidaklah bertentangan dengan lafah tahriik (menggerak-gerakkan), sebab jalan-jalan riwayat di atas saling menafsirkan. Tahriik merupakan lafadh yang lebih khusus daripada isyarat.
Berikut beberapa hadits yang menjelaskan pemahaman tersebut :
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَخْبَرَنَا يَزِيدُ بْنُ
هَارُونَ، عَنْ الْمَسْعُودِيِّ، عَنْ زِيَادِ بْنِ عِلَاقَةَ، قَالَ:
صَلَّى بِنَا الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ فَلَمَّا صَلَّى رَكْعَتَيْنِ
قَامَ وَلَمْ يَجْلِسْ فَسَبَّحَ بِهِ مَنْ خَلْفَهُ، فَأَشَارَ إِلَيْهِمْ
أَنْ قُومُوا، فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ صَلَاتِهِ سَلَّمَ وَسَجَدَ
سَجْدَتَيِ السَّهْوِ وَسَلَّمَ، وَقَالَ: هَكَذَا صَنَعَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Abdirrahmaan : Telah
mengkhabarkan kepada kami Yaziid bin Haaruun, dari Al-Mas’uudiy, dari
Ziyaad bin ‘Alaaqah, ia berkata : Al-Mughiirah bin Syu’bah pernah shalat
bersama kami. Ketika telah mendapatkan dua raka’at, ia berdiri tanpa
duduk (tasyahud). Orang-orang di belakangnya mengucapkan tasbih (untuk mengingatkannya). Namun ia berisyarat
kepada mereka agar berdiri. Ketika menyelesaikan shalatnya, ia
mengucapkan salam, lalu sujud sahwi dua raka’at, lalu salam lagi. Ia
berkata : ‘Beginilah yang dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 333; dan ia berkata : “Hasan shahih”].
Isyarat Al-Mughiirah ini dipahami sambil menggerak-gerakkan tangannya agar orang-orang bangkit berdiri.
حَدَّثَنَا
عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنْ
مَنْصُورٍ، عَنْ أَبِي وَائِلٍ، عَنْ حُذَيْفَةَ، قَالَ: " رَأَيْتُنِي
أَنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَتَمَاشَى، فَأَتَى
سُبَاطَةَ قَوْمٍ خَلْفَ حَائِطٍ، فَقَامَ كَمَا يَقُومُ أَحَدُكُمْ
فَبَالَ، فَانْتَبَذْتُ مِنْهُ، فَأَشَارَ إِلَيَّ فَجِئْتُهُ، فَقُمْتُ
عِنْدَ عَقِبِهِ حَتَّى فَرَغَ "
Telah
menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin Abi Syaibah, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami Jariir, dari Manshuur, dari Abu Waail, dari
Hudzaifah, ia berkata : “Aku berjalan-jalan bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Lalu beliau mendatangi tempat sampah suatu kaum yang ada di belakang
tembok. Beliau berdiri sebagaimana berdirinya salah seorang di antara
kalian, dan kemudian kencing. Lalu aku menjauh dari beliau, namun beliau
berisyarat agar aku mendekat. Aku pun mendekat dan berdiri di
belakang beliau hingga beliau selesai” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy
no. 225].
Isyarat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada Hudzaifah ini dipahami dengan menggerak-gerakkan tangan beliau agar ia mendekat.
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ أَبِي
حَازِمِ بْنِ دِينَارٍ، عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ، " أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَهَبَ إِلَى بَنِي
عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ لِيُصْلِحَ بَيْنَهُمْ، فَحَانَتِ الصَّلَاةُ فَجَاءَ
الْمُؤَذِّنُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ، فَقَالَ: أَتُصَلِّي لِلنَّاسِ
فَأُقِيمَ، قَالَ: نَعَمْ، فَصَلَّى أَبُو بَكْرٍ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسُ فِي الصَّلَاةِ فَتَخَلَّصَ
حَتَّى وَقَفَ فِي الصَّفِّ، فَصَفَّقَ النَّاسُ، وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ لَا
يَلْتَفِتُ فِي صَلَاتِهِ، فَلَمَّا أَكْثَرَ النَّاسُ التَّصْفِيقَ
الْتَفَتَ فَرَأَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَأَشَارَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِ
امْكُثْ مَكَانَكَ
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yuusuf, ia berkata : Telah
mengkhabarkan kepada kami Maalik, dari Abu Haazim bin Diinaar, dari Sahl
bin Sa’d As-Saa’idiy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
pergi menemui Bani ‘Amru bin ‘Auf untuk menyelesaikan permasalahan yang
ada di antara mereka. Tiba lah waktu shalat. Lalu seorang muadzdzin
menemui Abu Bakr dan berkata : “Apakah engkau akan mengimami shalat
orang-orang sehingga aku bacakan iqamatnya ?”. Abu Bakr menjawab : “Ya”.
Abu Bakr shalat. Kemudian datanglah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang waktu itu orang-orang masih dalam keadaan shalat. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bergabung
masuk ke dalam shaff. Orang-orang bertepuk tangan, dan Abu Bakr tidak
menoleh dalam shalatnya. Ketika banyak orang yang bertepuk tangan, maka
ia pun menoleh dan melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berisyarat kepadanya agar ia tetap ada di tempatnya (sebagai imam)...” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 684].
Isyarat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas dipahami dengan menggerak-gerakkan tangannya (agar Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu ada di tempatnya).
Jika demikian, sama halnya dengan hadits tahriik yang diriwayatkan oleh Waail bin Hujr dari jalan Zaaidah bin Qudaamah rahimahullah :
أَخْبَرَنَا
سُوَيْدُ بْنُ نَصْرٍ، قَالَ: أَنْبَأَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
الْمُبَارَكِ، عَنْ زَائِدَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ،
قَالَ: حَدَّثَنِي أَبِي، أَنَّ وَائِلَ بْنَ حُجْرٍ،: قُلْتُ:
لَأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَيْفَ يُصَلِّي؟ فَنَظَرْتُ إِلَيْهِ فَوَصَفَ، قَالَ: ثُمَّ
قَعَدَ وَافْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى عَلَى
فَخِذِهِ وَرُكْبَتِهِ الْيُسْرَى، وَجَعَلَ حَدَّ مِرْفَقِهِ الْأَيْمَنِ
عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى، ثُمَّ قَبَضَ اثْنَتَيْنِ مِنْ أَصَابِعِهِ
وَحَلَّقَ حَلْقَةً، ثُمَّ رَفَعَ أُصْبُعَهُ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا
يَدْعُو بِهَا "
Telah
mengkhabarkan kepada kami kami Suwaid bin Nashr, ia berkata : Telah
memberitakan kepada kami ‘Abdullah bin Al-Mubaarak, dari Zaaidah bin
Qudaamah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Aashim bin
Kulaib, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ayahku : Bahwasannya
Waail bin Hujr berkata : Sungguh aku akan melihat shalat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
bagaimana beliau shalat ?. Aku pun melihat beliau – lalu ia (Waail)
menyifatkannya - : “Kemudian beliau duduk dengan membentangkan kaki
kirinya, meletakkan telapak tangan kiri di atas paha dan lutut sebelah
kiri. Lalu meletakkan siku kanannya di atas paha kanan, kemudian
menggenggam dua jarinya dan membuat lingkaran, kemudian mengangkat
jarinya, dan aku melihat beliau menggerak-gerakkannya dan berdoa dengannya” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 1268 secara ringkas dengan sanad shahih].
Diriwayatkan dari beberapa jalan yang semuanya berasal dari Zaaidah bin Qudaamah rahimahullah.
Sebagian ulama mengatakan bahwa tambahan lafadh : ‘menggerak-gerakkannya dan berdoa dengannya’ adalah tambahan yang syaadz, karena menyelisihi banyak perawi, dimana mereka semua tidak menyebutkan tambahan tersebut[1]. Secara ringkas ta’lil tersebut dijawab sebagai berikut :
1. Tambahan itu dibawakan oleh Zaaidah bin Qudaamah Ats-Tsaqafiy, Abush-Shalt Al-Kuufiy (زائدة بن قدامة الثقفي ، أبو الصلت الكوفي); seorang yang tsiqah, tsabat, shaahibus-sunnah. Termasuk thabaqah ke-7, dan wafat tahun 160 H atau setelahnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 333 no. 1993].
Tautsiq ini termasuk jenis tautsiq dalam martabat yang tinggi dalam jarh wa ta’dil. Abu Haatim dan Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah, shaahibus-sunnah”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat dan berkata : “Termasuk di antara huffaadh yang mutqin”. Abu Zur’ah, An-Nasaa’iy, Ibnu Ma’iin, Al-Fasawiy, dan Ya’quub bin Syaibah berkata : “Tsiqah”. Abu ‘Abdillah Al-Haakim berkata : ‘Tsiqah ma’muun”. Ahmad bin Hanbal berkata : “Termasuk di antara orang-orang yang tsabt dalam hadits”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Termasuk di antara para imam yang tsabt”. Hammad bin Usaamah berkata : “Ia adalah orang yang yang paling jujur dan paling baik”. Ibnu Sa’d berkata : “Tsiqah ma’muun, shaahibus-sunnah”. Adz-Dzuhliy berkata : “Tsiqah lagi haafidh’.
Termasuk syarat diterimanya ziyaadah adalah sifat tsiqah dan dlabth yang dimiliki oleh perawi. Persyaratan ini dimiliki oleh Zaaidah.
2. Ziyaadah (tahriik) ini tidaklah bertentang dan menafikkan riwayat jumhur yang menyebutkan dengan lafadh isyarat. Dan ini telah lewat pembahasannya di atas. Ibnu Shalah telah menjelaskan pembagian jenis-jenis ziyaadats-tsiqaat ini dalam kitab ‘Ulumul-Hadiits[2] hal. 77-78.
3. Jika dikatakan bahwa ziyaadah ini syaadz karena men-taqyiid kemutlakan lafadh isyarat; maka pendapat yang raajih, sifat ziyaadah seperti ini diterima. Ini adalah madzhab beberapa ulama mutaqaddimiin. Berikut contohnya :
وحَدَّثَنَا
زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيل بْنُ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ
هِشَامِ بْنِ حَسَّانَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم:
" طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ، إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ، أَنْ
يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ، أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ "
Telah
menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb : Telah menceritakan kepada
kami Ismaa’iil bin Ibraahiim, dari Hisyaam bin Hassaan, dari Muhammad
bin Siiriin, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sucinya bejana salah seorang di antara kalian jika dijilat anjing adalah dicuci sebanyak tujuh kali dan awalnya dengan tanah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 279].
Muhammad bin Siiriin menyelisihi ashhaab Abu Hurairah dengan menyebutkan tambahan lafadh ‘dan awalnya dengan tanah’. Abu Daawud berkata :
وَأَمَّا
أَبُو صَالِحٍ، وَأَبُو رَزِينٍ، وَالْأَعْرَجُ، وَثَابِتٌ الْأَحْنَفُ،
وَهَمَّامُ بْنُ مُنَبِّهٍ، وَأَبُو السُّدِّيِّ عَبْدُ الرَّحْمَنِ،
رَوَوْهُ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَلَمْ يَذْكُرُوا التُّرَابَ
“Adapun
Abu Shaalih, Abu Raziin, Al-A’raj, Tsaabit Al-Ahnaf, Hammaam bin
Munabbih, dan Abus-Suddiy ‘Abdurrahmaan meriwayatkan dari Abu Hurairah
tanpa menyebutkan : ‘(mencucinya dengan) tanah’ [As-Sunan no. 73].
Tambahan yang dibawakan Ibnu Siiriin ini juga dishahihkan Ad-Daaruquthniy dalam Sunan-nya. Tambahan ini mengkonsekuensikan pentaqyidan lafadh mutlak mencuci sebanyak tujuh kali – yaitu awalnya dengan tanah.
Contoh lain :
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ
ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم " فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ
أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ
أُنْثَى مِنَ الْمُسْلِمِينَ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yuusuf : Telah mengkhabarkan kepada kami Maalik, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa
: Bahwasannya Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa salam telah mewajibkan
zakat fithr di bulan Ramadlaan kepada setiap orang baik yang merdeka,
budak, laki-laki, ataupun perempuan dari kalangan kaum muslimin [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1504].
Maalik bin Anas meriwayatkan tambahan ‘dari kalangan kaum muslimin’ dimana ia menyelisihi ashhaab Naafi’ yang lain. At-Tirmidziy rahimahullah berkata :
وَرَوَى
مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّم نَحْوَ حَدِيثِ أَيُّوبَ، وَزَادَ فِيهِ مِنَ
الْمُسْلِمِينَ، وَرَوَاهُ غَيْرُ وَاحِدٍ عَنْ نَافِعٍ، وَلَمْ يَذْكُرْ
فِيهِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ، وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي هَذَا،
فَقَالَ بَعْضُهُمْ: إِذَا كَانَ لِلرَّجُلِ عَبِيدٌ غَيْرُ مُسْلِمِينَ
لَمْ يُؤَدِّ عَنْهُمْ صَدَقَةَ الْفِطْرِ، وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ،
وَالشَّافِعِيِّ، وَأَحْمَدَ، وقَالَ بَعْضُهُمْ: يُؤَدِّي عَنْهُمْ وَإِنْ
كَانُوا غَيْرَ مُسْلِمِينَ، وَهُوَ قَوْلُ الثَّوْرِيِّ، وَابْنِ
الْمُبَارَكِ، وَإِسْحَاق
“Dan telah diriwayatkan oleh Maalik, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam semisal hadits Ayyuub, dan ditambahan padanya lafadh : ‘minal-muslimiin (dari kalangan kaum muslimin)’. Dan telah diriwayatkan lebih dari seorang dari Naafi’ tanpa menyebutkan padanya lafadh : minal-muslimiin.
Para ulama berbeda pendapat tentang hal ini. Sebagian di antara mereka
berkata : Jika seseorang memiliki budak-budak non muslim (kafir), maka
tidak wajib baginya membayar zakat fithri. Ini adalah pendapat Maalik,
Asy-Syaafi'iy, dan Ahmad. Dan sebagian yang lain berkata : Wajib bagi
seseorang membayar zakat fithri budak-budak mereka walaupun mereka dari
kalangan non muslim. Ini adalah pendapat Ats Tsauriy, Ibnul-Mubaarak,
dan Ishaaq” [As-Sunan no. 676].
Perkataan At-Tirmidziy rahimahullah tersebut di atas memberikan satu faedah bahwa ziyaadah lafadh ‘minal-muslimiin’ itu memberikan taqyiid
atas kemutlakan perintah membayar zakat sehingga menghasilkan
kesimpulan hukum tersendiri sebagaimana dijelaskan para ulama kita.
Ringkas kata, amalan tahriik ketika tasyahud dalam shalat adalah shahih ternukil dari salaf, dan juga dari sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya. Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – perum ciper, ciapus, ciomas, bogor - dikoreksi tanggal 24-02-2012 pukul 23:12 WIB].
NB : Pembahasan tentang ziyaadatuts-tsiqaat tidaklah sesederhana yang terkemas dalam pembahasan ini. Ada perbedaan pendapat di sana, baik dari kalangan mutaqaddimiin maupun muta’akhkhiriin, muhadditsiin maupun fuqahaa’. Di antara referensi yang dapat dibaca dalam permasalahan ini antara lain :
1. Al-Bisyaarah fii Syudzuudzi Tahriikil-Ushbu’ fit-Tasyahhud wa Tsubuutil-Isyaarah karya Abul-Mundzir Ahmad bin Sa’iid Al-Yamaaniy (taqdiim : Muqbil bin Hadiy Al-Wadii’iy).
2. Raf’ul-Malaam ‘an Man Harraka Ashba’ahu minat-Tahiyyaati ilas-Salaam, wa Ma’ahu Ar-Radd ‘alaa Risaalah : Al-Bisyaarah karya Abu Asmaa’ Al-Mishriy (taqdiim : Masyhur Hasan Salmaan & ‘Aliy Al-Halabiy).
3. Al-Aqwaalur-Raajihaat fil-Hadiits Asy-Syaadz wa Ziyaadatits-Tsiqaat karya Abu Hurairah Asy-Syaamiy Al-Atsariy (taqdiim : Majdiy bin Muhammad ‘Arafaat Al-Mishriy).
4. Ziyaadatuts-Tsiqaat wa Mauqiful-Muhadditsiin wal-Fuqahaa’ minhaa oleh Nuurullah Syaukat (desertasi S3 Univ. Ummul-Qurra’).
Berikut beberapa penjelasan ulama dalam hal tahriik :
[1] Bisa dibaca dalam kitab Al-Bisyaarah fii Syudzuudzi Tahriikil-Ushbu’ fit-Tasyahhud wa Tsubuutil-Isyaarah karya Abul-Mundzir Ahmad bin Sa’iid Al-Yamaaniy.