Fitnahan terus berlanjut dan berlanjut untuk syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Begitulah musuh dakwah sunnah dan tauhid selalu mencela, hal tersebut terjadi karena kejahilan mereka atau karena mereka adalah pengikut hawa nafsu. Salah satu contohnya mereka menyebarkan fitnahan yang keji kepada syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Salah satu tulisan yang sedikit menggelitik adalah tulisan Habib Rizieq yang memfitnah Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Dalam situs pribadinya, Habib Rizieq memfitnah Ibnu Taimiyyah tanpa burhan dan bukti. Dalam artikel barunya, dia menulis panjang lebar mengenai syi’ah dan wahhabi. Saya tidak tertarik membahas syi’ah dalam artikel yang ditulisnya, akan tetapi saya jauh lebih tertarik untuk membahas fitnahan yang dia tuduhkan kepada syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Habib Rizieq berkata:
“Fanatisme Awam Wahabi tersebut bukan tanpa sebab, justru lahir dan menguat akibat aneka kitab Wahabi dan berbagai pernyataan Ulama panutan mereka sendiri yang menghina Ahli Bait Nabi SAW sekaliber Sayyiduna Ali RA dan isterinya Sayyidah Fathimah RA serta kedua putranya Sayyiduna Al-Hasan RA dan Sayyiduna Al-Husein RA.
Salah satunya, lihat saja kitab "Minhaajus Sunnah" karya Syeikh Ibnu Taimiyyah sang panutan dan rujukan kalangan Wahabi, yang isinya dipenuhi dengan penghinaan terhadap Ahli Bait Nabi SAW.
Dalam kitab tersebut, Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa imannya Sayyidah Khadijah RA tidak manfaat buat umat Islam. Dan bahwa Sayyidah Fathimah RA tercela seperti orang munafiq. Serta Sayyidina Ali RA seorang yang sial dan selalu gagal, serta berperang hanya untuk dunia dan jabatan bukan untuk agama, dan juga perannya untuk Islam tidak seberapa”.
Jawab:
1- Ibnu Taimiyyah mencela Fathimah dan ahlul bait radhiyallahu anhum?? Sangat disayangkan dan beribu amat disayangkan, Habib Rizieq hanya memfitnah dan memfitnah tanpa menulis teks asli atau sumber dan refrensi yang pasti. Maka saya minta teks lafadz Ibnu Taimiyyah atau sumber yang pasti dalam kitab Minhaj As-Sunnah bahwa Ibnu Taimiyyah menghina Fathimah. Justru Ibnu Taimiyyah menghormati ahlul bait dan memerintahkan kaum muslimin untuk menghormati ahlul bait. Maka dari itu, sangat menggelitikkan perkataan Habib Rizieq ini. Tanpa bukti dan tanpa hujjah sang habib sangat mudah untuk memfitnah orang. Pada halaman berapa Ibnu Taimiyyah mencela Fathimah dalam kitabnya Minhaj As-Sunnah??
2- Sepertinya fitnahan Habib Rizieq hanya keluar dari gagal paham semata mengenai perkataan Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya “Minhaj As-Sunnah”, dahulu ulama besar syi'ah "Kamal Haidari" juga pernah gagal paham dalam memahami perkataan Ibnu Taimiyyah. Kamal Haidari memfitnah Ibnu Taimiyyah bahwa beliau menghina Fathimah dan ahlul bait.
Ketika Kamal Haidari salah fatal memahami perkataan Ibnu Taimiyyah lantas dia dicibir dan dikomentari oleh banyak orang, bahkan orang-orang syi’ah pun menyalahkan ulamanya sendiri “Kamal Haidari” karena telah gagal paham.
Kamal haidari memotong perkataan ibnu Taimiyyah dan menafsirkannya sendiri dengan pemahaman yang sangat fatal. Kamal haidari menukil perkataan Ibnu Taimiyyah:
وَنَحْنُ نَعْلَمُ أَنَّ مَا يُحْكَى عَنْ فَاطِمَةَ وَغَيْرِهَا مِنَ الصَّحَابَةِ مِنَ الْقَوَادِحِ كَثِيرٌ مِنْهَا كَذِبٌ وَبَعْضُهَا كَانُوا فِيهِ مُتَأَوِّلِينَ
“Dan kami mengetahui bahwasanya apa yang diriwayatkan mengenai fathimah dan selainnya dari para sahabat mengenai keburukan-keburukan, banyak diantaranya adalah riwayat dusta dan sebagian mereka menta’wil” (Minhaj As-Sunnah 2/244)
Kamal Haidari memahami perkataan Ibnu Taimiyyah diatas sangat fatal. Kamal Haidari mewaqafkan bacaan sampai “katsiir” kemudian distop, dan dilanjutkan “minha kadzibun”. Sehingga menimbulkan pemahaman yang sangat fatal. Seharusnya Kamal Haidari mewafqafkan bacaan sampai “Al Qawadih” kemudian distop dan melanjutkan kembali “katsiirun minhaa kadzibun”.
Kalau perkataan Ibnu Taimiyyah diterjemahkan menurut pemahaman Kamal Haidari jadinya akan seperti ini:
“Dan kami mengetahui apa yang diriwayatkan mengenai fathimah dan selainnya dari para sahabat, banyak keburukan-keburukan pada diri mereka. Diantaranya adalah mereka berdusta dan sebagian mereka menta’wil” .
Padahal makna yang benar adalah:
“Dan kami mengetahui bahwasanya apa yang diriwayatkan mengenai fathimah dan selainnya dari para sahabat mengenai keburukan-keburukan, banyak diantaranya adalah riwayat dusta dan sebagian mereka menta’wil”
Seandainya Kamal Haidari ingin melanjutkan perkataan Ibnu Taimiyyah sedikit saja, maka permalasahannya akan selesai. Justru setelahnya, Ibnu taimiyyah memuji Fathimah dan Ahlul Bait. Beliau berkata:
وَإِذَا كَانَ بَعْضُهَا ذَنْبًا فَلَيْسَ الْقَوْمُ مَعْصُومِينَ بَلْ هُمْ مَعَ كَوْنِهِمْ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ وَمِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ لَهُمْ ذُنُوبٌ يَغْفِرُهَا اللَّهُ لَهُمْ.
“Dan jika sebagian riwayat tersebut tentang dosa kesalahan mereka maka ketahuilah bahwasanya mereka memang tidak ma’shum. Ketika mereka adalah wali-wali Allah dan mereka adalah penduduk surga walaupun mereka memiliki kesalahan maka Allah mengampuninya untuk mereka” (Minhaj As-Sunnah 2/244)
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa: Ibnu Taimiyyah sama sekali tidak mencela Fathimah dan sahabat lainnya, dan bahkan Ibnu Taimiyyah mengatakan riwayat-riwayat tersebut adalah dusta atau ta’wilan saja. Dan bahkan Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa mereka adalah wali Allah dan penduduk surga.
Jadi, dimana Ibnu Taimiyyah menghina Fathimah dan Ahlul bait?? Dan bahkan dalam kitab ini Ibnu Taimiyyah membela para sahabat.
Dan dalam sebuah video sudah ada yang mendokumentasikan kegagal pahaman Kamal Haidari dalam memahami perkataan Ibnu Taimiyyah dan bisa lihat disini.
Sehingga, hanya ada tuntutan mengenai Ibnu Taimiyyah mencela Fathimah dan para sahabat “Silahkan sebutkan teks asli Ibnu Taimiyyah dan sumbernya yang pasti dalam kitab Minhaj As-Sunnah bahwa beliau mencela fathimah, jangan hanya pintar memfitnah saja. Sangat disayangkan jika tuduhan dan fitnahan keluar dari lisan seorang habib besar.”
Habib Rizieq juga berkata:
“Namun, akhirnya Syeikh Ibnu Taimiyyah rhm bertaubat di akhir umurnya dari sikap berlebihan, khususnya sikap "Takfiir", sebagaimana diceritakan oleh Imam Adz-Dzahabi rhm dalam kitab "Siyar A'laamin Nubalaa" juz 11 Nomor 2.898 pada pembahasan tentang Imam Abul Hasan Al-Asy'ari rhm”.
Jawab:
Syaikhul islam bertaubat dalam permasalahan takfir hanyalah keluar dari kantong habib Rizieq saja. Ibnu Taimiyyah tidak pernah ruju’ dari perkataannya dalam masalah takfir. Adapun yang diceritakan oleh Imam Adz-Dzahabi, maka imam Adz-Dzahabi tidak pernah mengatakan Ibnu taimiyyah ruju’, itu hanya gagal paham dari habib Rizieq saja. Disebutkan dalam Siyar A’lam Nubala:
وكذا كان شيخنا ابن تيمية في أواخر أيامه يقول: أنا لا أكفر أحدا من الأمة، ويقول: قال النبي -صلى الله عليه وسلم: "لا يحافظ عى الوضوء إلا مؤمن" 1 فمن لازم الصلوات بوضوء فهو مسلم.
“Dan begitulah syaikh kami Ibnu Taimiyyah di akhir hayatnya, dia berkata: “Saya tidak mengkafirkan seseorang dari ummat ini. Dan Ibnu Taimiyyah berkata: Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada seseorang yang menjaga wudhunya kecuali dia adalah seorang mu’min. Maka barangsiapa yang konsisten shalat dengan wudhu maka dia adalah muslim” (Siyar A’lam Nubala 11/393)
Dimana pernyataan ruju’ Ibnu Taimiyyah yang diceritakan oleh Imam Adz-Dzahabi? Sama sekali tidak ada. Coba para pembaca teliti kembali: Imam Adz-Dzahabi tidak pernah bercerita“Namun, akhirnya Syeikh Ibnu Taimiyyah rhm bertaubat di akhir umurnya dari sikap berlebihan, khususnya sikap "Takfiir",”. Ibnu Taimiyyah tidak pernah berketa seperti itu, pekataan itu hanya keluar dari kantong Habib Rizieq saja.
Dalam masalah takfir, Ibnu Taimiyyah sangatlah berhati-hati dan tidak mudah mengkafirkan individu seseorang tanpa hujjah dari dulu hingga wafatnya. Dan bahwasanya malasah takfir mu’ayyan (secara individu) sangatlah berat bagi Ibnu Taimiyyah. Dan bukan sebagaimana yang dipahami oleh Habib Rizieq bahwa Ibnu Taimiyyah dulunya mudah mengkafirkan orang lain secara ta’yiin. Jadi maklum saja Ibnu Taimiyyah tidak mengkafirkan seseorang dari ummat islam, bukan berarti ini adalah ruju’. Tapi karena memang itu adalah madzhab beliau dalam masalah takfir dari dulu hingga wafatnya.
Saya ambil contoh mudah:
“Nabi di akhir hayatnya tidak lupa dengan kewajiban-kewajiban yang Allah wajibkan untuk beliau”.
Apakah mungkin seseorang akan mengambil kesimpulan dari perkataan diatas: Nabi sudah bertaubat dan dahulu nabi adalah orang lalai dari kewajiban-kewajiban karena nabi di akhir hayatnya tidak pernah lupa dengan kewajiban-kewajiban yang Allah wajibkan. Maka hanya orang jahil yang mengambil kesimpulan seperti itu, seperti habib Rizieq yang mengambi kesmipulan secara serampangan.
Jadi maksud cerita Imam Adz-Dzahabi, bahwa Ibnu Taimiyyah dari dulu hingga akhir hayatnya adalah orang yang tidak mudah mengkafirkan individu seorang muslim secara ta’yiin. Hal tersebut dapat kita lihat dalam tulisan-tulisan beliau bahwa madzhab Ibnu Taimiyyah di akhir hayatnya sama dengan madzhabnya yang lalu dan tidaklah berubah, bahwasanya Ibnu Taimiyyah memang dari dulu tidak mudah mengkafirkan seseorang secara individu. Ibnu Taimiyyah berkata yang satu makna dengan cerita Adz-Dzahabi (tidak mudah untuk mengkafirkan secara ta’yiin), dan beliau berkata jauh-jauh hari dari sebelum beliau meninggal:
مَنْ دَاوَمَ عَلَى الصَّلَوَاتِ فَإِنَّهُ لَا يُصَلِّي إلَّا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِخِلَافِ مَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا فَإِنَّمَا يُصَلِّي حَيَاءً أَوْ رِيَاءً أَوْ لِعِلَّةِ دُنْيَوِيَّةٍ؛ وَلِهَذَا قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ: {إذَا رَأَيْتُمْ الرَّجُلَ يَعْتَادُ الْمَسْجِدَ فَاشْهَدُوا لَهُ بِالْإِيمَانِ؛ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ: {إنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إلَّا اللَّهَ} الْآيَةَ} . وَمَنْ لَمْ يُصَلِّ إلَّا بِوُضُوءِ وَاغْتِسَالٍ فَإِنَّهُ لَا يَفْعَلُ ذَلِكَ إلَّا لِلَّهِ وَلِهَذَا قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا رَوَاهُ أَحْمَد. وَابْنُ مَاجَه مِنْ حَدِيثِ ثوبان عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: {اسْتَقِيمُوا وَلَنْ تَحْصُوا وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمْ الصَّلَاةُ وَلَا يُحَافِظُ عَلَى الْوُضُوءِ إلَّا مُؤْمِنٌ فَإِنَّ الْوُضُوءَ سِرٌّ بَيْنَ الْعَبْدِ وَبَيْنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ} وَقَدْ يَنْتَقِضُ وُضُوءُهُ وَلَا يَدْرِي بِهِ أَحَدٌ فَإِذَا حَافَظَ عَلَيْهِ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهِ إلَّا لِلَّهِ سُبْحَانَهُ وَمَنْ كَانَ كَذَلِكَ لَا يَكُونُ إلَّا مُؤْمِنًا
“Barang siapa yang selalu konsisten untuk shalat, maka tidaklah dia shalat kecuali untuk Allah. Berbeda dengan yang tidak menjaga shalatnya, sesungguhnya dia shalat karena rasa malu, atau riya’ atau tujuan duniawi saja. Maka dari itu Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (Jika kamu melihat seseorang yang membiasakan untuk ke masjid maka saksikanlah keimanan untuk dirinya. Sesungguhnya Allah berfirman: (Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir dan orang yang menegakkan shalat dan orang yang menunaikan zakat dan dia tidak takut kecuali kepada Allah) [QS. At-Taubah:18] Dan barang siapa yang tidak shalat kecuali dengan wudhu dan mandi maka sesungguhnya dia tidak melakukannya kecuali karena Allah maka dari itu Nabi bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari hadits Tsauban bahwasanya Nabi bersabda: (Istiqamahlah dan kalian tidak akan bisa menghitungnya. Dan ketahuilah bahwasanya sebaik-baik amalan kalian adalah shalat. Dan tidak ada yang menjaga wudhunya kecuali orang mu’min. Sesungguhnya wudhu adalah rahasia antara hamba dan Rabbnya. Terkadang wudhu seseorang bisa batal, maka jika dia selalu menjaga wudhunya maka tidaklah dia berwudhu kecuali karena Allah. Maka barang siapa yang keadaannya seperti itu maka dia adalah seorang mu’min” (Majmu’ fatawa 18/261)
Cobalah lihat teks yang kami tebalkan dengan warna merah, sangat jelas bahwasanya dari dulu Ibnu Taimiyyah menyatakan orang yang menjaga shalatnya dan wudhunya adalah seorang mukmin, sehingga tidak mudah untuk mengkafirkan. Perkataan ini sama persis dengan apa yang diceritakan oleh Adz-Dzahabi diatas (baca kembali cerita Adz-Dzhabi diatas yang telah kami nukil).
Dalam perkataan beliau lain, beliau tidaklah mudah untuk mengkafirkan orang sembarangan. Beliau berkata:
أَنِّي مِنْ أَعْظَمِ النَّاسِ نَهْيًا عَنْ أَنْ يُنْسَبَ مُعَيَّنٌ إلَى تَكْفِيرٍ وَتَفْسِيقٍ وَمَعْصِيَةٍ، إلَّا إذَا عُلِمَ أَنَّهُ قَدْ قَامَتْ عَلَيْهِ الْحُجَّةُ الرسالية الَّتِي مَنْ خَالَفَهَا كَانَ كَافِرًا تَارَةً وَفَاسِقًا أُخْرَى وَعَاصِيًا أُخْرَى وَإِنِّي أُقَرِّرُ أَنَّ اللَّهَ قَدْ غَفَرَ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ خَطَأَهَا: وَذَلِكَ يَعُمُّ الْخَطَأَ فِي الْمَسَائِلِ الْخَبَرِيَّةِ الْقَوْلِيَّةِ وَالْمَسَائِلِ الْعَمَلِيَّةِ
“Sesungguhnya aku adalah orang yang paling melarang jika seseorang secara individu dinisbatkan kepada kekufuran dan kefasikan dan kemaksiatan, kecuali jika telah diketahui bahwasanya hujjah telah tegak yang mana siapa saja orang yang menyilisihinya maka dia kafir atau fasiq atau pemaksiat. Dan aku menetapkan bahwasanya Allah telah mengampuni kesalahan ummat ini. Dan itu mencakup kesalahan yang berkaiatan dengan masail khobariyyah qouliyyah dan masail amalaiyyah” (Majmu’ fatawa 3/229)
Perkataan beliau satu makna dengan cerita Adz-Dzahabi, bahwasanya Ibnu Taimiyyah tidak mudah mengkafirkan seseorang secara ta’yiin.
Maka ini adalah hadiah untuk para pemfitnah tanpa hujjah dan burhan. Semoga Allah mengampuni kesalahan habib Rizieq dan menerima taubatnya.
Semoga bermanfaat wa shallallahu alaa nabiyyinaa Muhammad.
0 comments:
Posting Komentar