Semenjak Allah mengabarkan kepada kita tentang sumpah Iblis dalam firman-Nya;
قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِين
“Iblis berkata: ‘Demi keagungan-Mu, sungguh-sungguh aku akan menyesatkan mereka (anak Adam) semuanya.” [QS. Shaad: 82]
dan semenjak Allah berfirman;
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوّاً إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِير
“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, Maka anggaplah ia musuh(mu), karena Sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala. [QS. Faathir: 6]
semenjak itu pula (sejatinya) kita senantiasa berada dalam medan pertempuran dan perseteruan dengan Hizbusy-syaitan (Tentara Syaitan). Dan kita berharap untuk selalu berada dalam barisan Hizbullaah (Tentara Allah) bersama; para malaikat, para Nabi dan Rasul, beserta ahli tauhid dan iman. Sementara Hizbusy-syaitan, dikomandoi oleh Iblis, di belakangnya berbaris Dajjal, Yahudi, Nasrani, bersama orang-orang musyrik dan munafik yang memilih agama selain Islam.
Sebagaimana (kelak di akhirat) tidak ada tempat ketiga selain surga dan neraka, maka begitu pula tidak ada golongan yang ketiga di dunia ini sebagai tempat bernaung dan menggolongkan diri selain kedua golongan di atas. Jika tidak berada dalam barisan Hizbullaah (baca: Islam), maka sudah barang tentu dalam barisan Hizbusy-syaitan yang telah pasti neraka sebagai tempat kembalinya.
Di antara karakteristik orang-orang yang menggolongkan diri ke dalam Hizbullaah adalah; mereka sangat membenci musuh-musuh Allah sekaligus membenci apa-apa yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Di samping itu, mereka sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya sekaligus mencintai apa-apa yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Inilah garis pembatas yang memisahkan mereka dengan Hizbusy-syaitan. Garis pembatas inilah yang dikenal dengan sebutan al-Walaa wal Baraa (cinta dan benci karena Allah).
al-Walaa wal Baraa dan Putusnya Tali Iman
Sesungguhnya iman memiliki tali yang bisa menyelamatkan pemiliknya dari jurang kekafiran. Kokoh tidaknya tali iman tersebut, sangat bergantung pada kadar kekuatan al-Walaa’ wal Baraa’ (cinta dan benci) seorang hamba di jalan Allah. Rasulullah ‘alaihis sholaatu was salaam bersabda:
أَوْثَقُ عُرَى الإيْمَانِ الْمُوَالاَةُ فِي اللهِ وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ، وَالْحُبُّ فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِي اللهِ
“Tali iman yang paling kokoh; (adalah) loyalitas dan permusuhan (semata-mata) karena Allah, serta cinta dan benci juga semata-mata karena Allah.” [di-hasan-kan oleh Imam al-Albani dalam Silsilah ash-Shahiihah no. 998, 1728]
Imam as-Suyuthi rahimahullaah (wafat: 911-H) dalam kitab tafsirnya ad-Durrul Mantsuur meriwayatkan bahwasanya Ibnu ‘Abbas radhiallaahu’anhu pernah berucap:
من أحب في الله وأبغض في الله، ووالى في الله، وعادى في الله فإنما تنال ولاية الله بذلك، ولن يجد عبد طعم الإيمان وإن كثرت صلاته وصومه حتى يكون كذلك
“Barangsiapa mencintai karena Allah, membenci juga karena Allah, berloyalitas karena Allah, memusuhi karena Allah, maka (ketahuilah bahwa) sesungguhnya derajat Wali Allah diraih dengan hal-hal tersebut. Benar-benar seorang hamba tidak akan pernah mendapati lezatnya iman, betapapun banyak solat dan puasanya, sampai dia seperti itu. [ad-Durrul Mantsuur: 8/87, cet. Daarul Fikr]
Cinta & Benci Karena Allah, Konsekuensi Laa Ilaaha Illallaah
Saat orang yang kita cintai dihina, tentu kita pun akan bangkit dengan kemarahan. Ini adalah konsekuensi logis dari sebuah loyalitas yang lahir dari kemurnian cinta yang tulus (al-Walaa) kepada orang tersebut. Ini pada kasus cinta sesama makhluk. Sekarang bagaimana dengan Allah? Dzat yang kita diwajibkan untuk mencintai-Nya di atas segala sesuatu di muka bumi ini?
Allah berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
“Dan di antara manusia, ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan, mereka mencintai tandingan-tandingan tersebut sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, jauh lebih mencintai Allah. [QS. Al-Baqarah: 165]
Terlebih lagi jika cinta kepada-Nya merupakan salah satu konsekuensi dari kalimat tauhid Laa ilaaha illallaah, sebagaimana tertulis dalam syair para ulama tentang syarat-syarat kalimat agung tersebut:
مَحَبــَّةٍ وَانقيادٍ والقَبـولِ لهَ
سِوَى الإلَـهُ مِنَ الْأشْيَاءِ قَدْ أُلِهَا
علمٌ يَقِيْنٌ وَإِخْلَاصٌ وَصِدْقُكَ مَعَ
وَزِيدَ ثَامِنُهَا الْكُفْرَانُ مِنْكَ بِمَـا
“Ilmu, keyakinan, keikhlasan, dan kejujuranmu
“Dibarengi cinta, ketundukan, dan penerimaan terhadapnya (kalimat tauhid)
Ditambah (syarat) yang kedelapan (yaitu) pengingkaran darimu
Terhadap segala sesuatu selain Allah yang telah disembah.
Imam Ibnu Rajab rahimahullaah (wafat: 795-H) mengatakan dalam kitabnya Kalimatul Ikhlash (hal. 29, Cet. Al-Maktabatul Islamiy, 1397-H):
وَمن تَمام محبته محبَّة مَا يُحِبهُ وَكَرَاهَة مَا يكرههُ فَمن أحب شَيْئا مِمَّا يكرههُ الله أَو كره شَيْئا مِمَّا يُحِبهُ الله لم يكمل توحيده وَصدقه فِي قَول لَا إِلَه إِلَّا الله وَكَانَ فِيهِ من الشّرك الْخَفي بِحَسب مَا كرهه مِمَّا يُحِبهُ الله وَمَا أحبه مِمَّا يكرههُ الله قَالَ الله تعالى {ذَلِك بِأَنَّهُم اتبعُوا مَا أَسخط الله وكرهوا رضوانه فأحبط أَعْمَالهم}
“Dan di antara kesempurnaan cinta pada-Nya, adalah mencintai apa-apa yang dicintai-Nya, dan membenci apa-apa yang dibenci-Nya. Barangsiapa mencintai sesuatu yang dibenci Allah, atau membenci sesuatu yang dicintai oleh Allah, maka tidak sempurna tauhid dan kejujurannya pada kalimat Laa ilaaha illallaah. Dalam dirinya masih terdapat kadar kesyirikan yang samar, sesuai kadar kebenciannya terhadap apa-apa yang dicintai Allah, dan kadar kecintaannya terhadap apa-apa yang dibenci oleh Allah. Allah berfirman: Yang demikian itu karena mereka mengikuti apa-apa yang membuat Allah murka, dan (justru) membenci apa-apa yang diridhai oleh-Nya. Dengan sebab itu, Allah menghapus pahala amal-amal mereka.’ QS. Muhammad: 28.”
Salah seorang ulama salaf yang mulia, Bisyr bin Surry rahimahullaah, pernah berkata:
لَيْسَ مِنْ أَعْلَامِ الْحُبِّ أَنْ تُحِبَّ مَا يُبْغِضُ حَبِيْبَكَ
“Bukanlah termasuk tanda-tanda cinta, engkau menyukai sesuatu yang menjadikan marah kekasihmu. [Kalimatul Ikhlash hal. 31, Ibnu Rajab rahimahullah]
Kesyirikan yang Samar
Sikap mencintai apa yang dibenci Allah (dan sebaliknya), merupakan kesyirikan yang samar. Sebagaimana diungkapkan oleh Imam Ibnu Rajab rahimahullaah:
أَن محبَّة مَا يكرههُ الله وبغض مَا يُحِبهُ مُتَابعَة للهوى، والموالاة على ذَلِك والمعاداة فِيهِ من الشّرك الْخَفي”
“Bahwasanya mencintai apa-apa yang dibenci oleh Allah, dan membenci apa-apa yang dicintai-Nya, merupakan tindakan mengikuti hawa nafsu. Sementara mencanangkan sikap walaa (cinta & loyal) dan muaadah (permusuhan) semata-mata atas dasar hawa nafsu tersebut, termasuk kesyirikan yang tersembunyi. [Kalimatul Ikhlash hal. 31]
Kekufuran; Puncak Kebencian Allah & Puncak Kecintaan Syaitan
Tidak ada sesuatu yang lebih dibenci oleh Allah di jagad raya ini melebihi kekufuran. Sampai-sampai Allah berfirman menegaskan; bahwa dosa kufur adalah satu-satunya dosa yang tidak diampuni:
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang (berbuat syirik dengan) mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. [QS. an-Nisaa: 48]
Begitu kejinya kekufuran di mata Allah, sampai-sampai keadilan yang sempurna baru bisa terwujud dengan divonisnya orang-orang kafir sebagai penghuni abadi siksa neraka. Allah Yang Mahaadil berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّة
“Sesungguhnya orang-orang kafir dari kalangan ahlul kitab dan musyrikin, mereka kekal di dalam neraka Jahannam. Sungguh merekalah seburu-buruk makhluk.” [QS. al-Bayyinah: 6]
Bahkan langit, bumi, dan gunung-gunung turut menjadi saksi betapa busuknya dosa kekufuran di hadapan Allah Yang Mahaagung. al-Qur-aan mengabarkan tentang hal ini:
تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا (90) أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا (91) وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا (92)
“Hampir-hampir langit pecah karena Ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh. Karena mereka menda’wakan Allah yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. [QS. Maryam: 90-92]
al-Imam Ibnu Katsiir asy-Syaafii rahimahullaah (wafat: 774-H) menukil ucapan Ibnu Abbas radhiallaahuanhu tentang ayat di atas:
الشِّرْكَ فَزِعَتْ مِنْهُ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَالْجِبَالُ، وَجَمِيعُ الْخَلَائِقِ إِلَّا الثَّقَلَيْنِ، فَكَادَتْ أَنْ تَزُولَ مِنْهُ لِعَظَمَةِ اللَّه
“Kesyirikan benar-benar menggemparkan langit, bumi, gunung-gunung, dan segenap makhluk selain jin dan manusia. Hampir-hampir semuanya hancur lenyap karena (hinanya kekufuran tersebut) dihadapkan pada keagungan Allah.” [Tafsiir Ibnu Katsiir: V/266, cet. Daarut Thoyyibah, 1420-H]
Abdurrahman bin Zaid bin Aslam rahimahullaah ketika menafsirkan kalimat “وَتَنْشَقُّ الأرْضُ” pada ayat di atas, beliau mengungkapkan bahwa bumi marah karena Allah (dihina dengan kekufuran). [lih. Tafsiir Ibnu Katsiir: V/266].
Alhasil, inilah gambaran betapa hina dan dinanya kekufuran. Betapa memuncak kebencian Allah terhadapnya. Tidak heran jika Allah memberikan julukan “syarrud dawaab” (sejelek-jelek makhluk melata) kepada orang-orang yang tenggelam dalam kekufuran:
إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الَّذِينَ كَفَرُوا فَهُمْ لَا يُؤْمِنُون
“Sesungguhnya syarrud dawaab (makhluk yang palik buruk) di sisi Allah adalah orang-orang kafir, (dikarenakan) mereka tidak beriman (menegakkan tauhid). [QS. al-Anfaal: 55]
Di sisi yang berlawanan, Hizbusy-syaitan sangat mencintai kekufuran. Ini adalah tujuan akhir mereka dalam menyesatkan anak Adam. Allah berfirman:
يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا
“…mereka ingin berhukum kepada thagut (segala sesuatu yang diibadahi selain Allah), padahal mereka diperintahkan untuk kafir kepada thagut tersebut. Dan Syaitan ingin menyesatkan mereka dengan kesesatan yang jauh. [QS. an-Nisaa: 60]
Lalu, Apa yang Harus Dibenci?
Sebagaimana kebencian Allah yang terbesar tertuju pada kekufuran dengan segenap pernak-perniknya, maka seorang mukmin haruslah memberikan porsi kebencian yang terbesar pula pada kekufuran, pada simbol-simbol kekufuran, pada sarana kekufuran dan pemuja kekufuran. Inilah bentuk kebencian yang bernilai ibadah di sisi Allah.
Atas alasan tersebut, Islam mengharamkan kita untuk menjadikan orang-orang kafir sebagai teman akrab. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi teman akrab kalian dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” [QS. an-Nisaa’: 144]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا آبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الإيمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi wali (penolong dan pelindungmu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan. Siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. [QS. at-Taubah: 23]
Rasulullah bahkan melarang kita untuk tinggal di tengah-tengah komunitas mereka (orang-orang kafir). Beliau memberikan peringatan keras akan hal ini dalam sabdanya:
مَنْ جَامَعَ الْمُشْرِكَ وَسَكَنَ مَعَهُ، فَإنَّهُ مِثْلُهُ
“Barangsiapa berkumpul dengan orang musyrik (kafir) dan tinggal bersamanya, maka dia semisal dengannya (orang kafir tersebut)…” [Abu Dawud: 2787, dicantumkan oleh Imam al-Albani rahimahullaah dalam ash-Shahiihah no. 2330]
Rasulullah juga melarang kita untuk menyerupai mereka (orang-orang kafir) dalam ritual agama, tradisi, gaya hidup dan karakteristik lahiriyah yang menjadi ciri khas mereka. Kaum muslim diperintahkan untuk tampil beda dengan orang-orang kafir, bukan justru mengekor. Rasulullah bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia bagian dari kaum tersebut.” [Ahmad: 2/50 dan 92, Dishahihkan Imam al-Albani dalam Irwaa-ul Ghaliil no. 1269]
Imam ash-Shon’aaniy rahimahullaah (wafat: 1182-H) mengomentari hadits di atas dalam kitab Subulus Salaam (2/646-647). Beliau mengatakan:
وَالْحَدِيثُ دَالٌّ عَلَى أَنَّ مَنْ تَشَبَّهَ بِالْفُسَّاقِ كَانَ مِنْهُمْ أَوْ بِالْكُفَّارِ أَوْ بِالْمُبْتَدِعَةِ فِي أَيِّ شَيْءٍ مِمَّا يَخْتَصُّونَ بِهِ مِنْ مَلْبُوسٍ أَوْ مَرْكُوبٍ أَوْ هَيْئَةٍ، قَالُوا: فَإِذَا تَشَبَّهَ بِالْكَافِرِ فِي زِيٍّ وَاعْتَقَدَ أَنْ يَكُونَ بِذَلِكَ مِثْلَهُ كَفَرَ
“Hadits tersebut menunjukkan bahwa orang yang menyerupakan diri dengan kaum fasik, maka dia termasuk bagian dari mereka, (demikian juga halnya dengan) orang yang menyerupakan diri dengan kaum kafir, atau ahli bidah, pada segala sesuatu yang merupakan ciri khas mereka (baik dalam hal); pakaian (yang merupakan ciri has orang kafir), kendaraan (yang merupakan ciri has orang kafir) , atau penampilan (yang merupakan ciri has orang kafir). Para ulama mengatakan: “jika seseorang menyerupakan diri dengan orang kafir dengan kostum tertentu (yang merupakan ciri has orang kafir), dan dia berkeyakinan bahwa dengan kostum tersebut dia akan mirip dengan mereka, maka dia telah kafir (keluar dari Islam)…
Hari Raya Mereka, Paling Pantas untuk Ditinggalkan
Tentu saja ciri khas yang paling melekat dengan orang-orang kafir adalah ritual keagamaan mereka, terutama hari raya mereka. Hari raya orang kafir pada hakikatnya adalah perayaan kekufuran yang berarti juga perayaan caci maki terhadap Allah.
Nah, berangkat dari penjelasan di atas, kita sudah sepatutnya merenung akan hakikat perayaan orang-orang kafir (semisal perayaan Natal, parade Ogoh-Ogoh, Imlek, dll). Hari Raya orang-orang kafir sejatinya adalah pesta caci-maki dan olok-olokan terhadap Allah, Raja alam semesta, Pencipta segala, dan Pemilik jagad semesta. Lihatlah bagaimana simbol-simbol kekufuran diagung-agungkan dalam hari raya mereka dalam beragam bentuk dan warnanya. Lalu pantaskah kaum muslimin yang telah mengucapkan ikrar setia sampai mati di atas kalimat Laa ilaaha illallaah, menyaksikan atau bahkan ikut larut dan mengucapkan selamat atas hari raya mereka, tanpa sedikitpun ada rasa marah atau secuil penolakan di hati? Sementara Allah telah melaknat kemusyrikan dan kekufuran berikut pelaku, segenap simbol dan atribut-atributnya? Lantas telah hinggap di mana keimanan dan cinta kita pada Allah? Naudzubillaah.
Renungkan! Apa Kata al-Qur-aan
Allah dengan tegas telah melarang kita untuk duduk bersama orang-orang yang tengah melakukan kemaksiatan, termasuk menonton upacara-upacara yang bertentangan dengan ajaran Islam. Terlebih lagi jika upacara tersebut merupakan simbol kesyirikan yang sangat terlaknat di mata Allah:
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا
“dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kalian di dalam Al Quran bahwa apabila kalian mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), Maka janganlah kalian duduk bersama mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kalian berbuat demikian), tentulah kalian serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam. [QS. An-Nisaa: 140]
Ketika menafsirkan ayat di atas, al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullaah (wafat: 774-H) mengatakan:
إِذَا ارْتَكَبْتُمِ النَّهْيَ بَعْدَ وُصُولِهِ إِلَيْكُمْ، وَرَضِيتُمْ بِالْجُلُوسِ مَعَهُمْ فِي الْمَكَانِ الَّذِي يُكْفَرُ فِيهِ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيُسْتَهْزَأُ وَيُنْتَقَصُ بِهَا، وَأَقْرَرْتُمُوهُمْ عَلَى ذَلِكَ، فَقَدْ شَارَكْتُمُوهُمْ فِي الَّذِي هُمْ فِيهِ. فَلِهَذَا قَالَ تَعَالَى: {إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ} أَيْ فِي الْمَأْثَمِ
“Jika kalian melakukan hal-hal yang terlarang, setelah sampai kepada kalian al-Qur’an (menjelaskan keharamannya-pent), dan kalian rela duduk-duduk bersama mereka di tempat kekufuran dan olok-olokan terhadap ayat-ayat Allah, lantas kalian mengiyakannya (tanpa ada pengingkaran-pent), maka sungguh kalian telah berserikat dengan mereka dalam perbuatan tersebut. Oleh karena itu Allah mengatakan: ‘…maka jika begitu, kalian sama dengan mereka’ dalam dosa.” [Tafsir Ibnu Katsir: 2/435, Daar ath-Thayyibah, Tahqiq: Saami Muhammad Salaamah]
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Naashir as-Sa’di rahimahullaah (wafat: 1376-H) menambahkan dalam kitab tafsirnya Taisiir Kariimir Rahmaan (1/210, Cet. Mu-assasah ar-Risaalah, 1420-H):
وكذلك يدخل فيه حضور مجالس المعاصي والفسوق التي يستهان فيها بأوامر الله ونواهيه، وتقتحم حدوده….(إلى قوله رحمه الله)…{إِنَّكُمْ إِذًا} أي: إن قعدتم معهم في الحال المذكورة {مِثْلُهُمْ} لأنكم رضيتم بكفرهم واستهزائهم، والراضي بالمعصية كالفاعل لها، والحاصل أن من حضر مجلسا يعصى الله به، فإنه يتعين عليه الإنكار عليهم مع القدرة، أو القيام مع عدمها.
“(Larangan dalam ayat di atas juga) mencakup larangan menghadiri majelis-majelis (atau upacara-upacara-pent) kefasikan yang di dalamnya perintah-perintah dan larangan-larangan Allah diremehkan, batasan-batasan Allah didobrak….. (sampai pada ucapan beliau) … Jika kalian duduk bersama mereka dalam kefasikan tersebut (meskipun kalian tidak berbuat-pent) maka kalian sama seperti mereka (yang berbuat-pent), karena kalian ridha dengan kekufuran dan olok-olokan mereka. Sementara orang yang ridha dengan kemaksiatan, sama (dosanya-pent) dengan pelaku kemaksiatan tersebut. Kesimpulannya, barangsiapa menghadiri majelis (atau upacara-upacara-pent) yang di dalamnya ada kemaksiatan pada Allah, maka wajib ‘ain baginya untuk mengingkari kemasiatan tersebut sesuai kemampuan, atau (jika tidak mampu-pent), dia harus bangkit meninggalkan majelis tersebut.”
Dalam al-Qur-aan, Allah memberikan kepada kita teladan yang agung dalam sosok Ibrahim Khaliilurrahmaan. Teladan dalam menyikapi orang-orang yang mencaci-maki Allah dengan kekufuran yang mereka jadikan sebagai agama:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sungguh telah ada suri teladan yang baik bagi kalian dari Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya tatkala mereka berkata kepada kaum mereka (yang kafir): ‘sungguh kami telah baraa’ (berlepas diri) dari kalian dan dari apa-apa yang kalian sembah selain Allah. Kami ingkar pada kalian, dan telah jelas permusuhan dan kebencian antara kami dengan kalian selamanya sampai kalian mentauhidkan Allah semata.” [QS. al-Mumtahanah: 4]
Allah juga berfirman tentang ‘Ibaadurrahmaan (hamba-hamba Allah yang teristimewa, yang disifatkan dalam QS. Al-Furqon: 63-76). Mereka inilah yang benar-benar telah mengaplikasikan cinta dan benci karena Allah dalam setiap nafas kehidupannya. Hingga mereka pun layak meraih cinta-Nya. Simak seperti apa salah satu sifat mereka:
وَالَّذِينَ لا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan (mereka ‘Ibaadurrahmaan itu adalah) orang-orang yang tidak menyaksikan az-Zuur, dan apabila mereka melewati majelis al-Laghwu, mereka melintas saja dengan penuh kehormatan (berpaling dan tidak mau menyaksikannya-pent).” [QS. Al-Furqon: 72]
Imam ath-Thabary rahimahullaah (wafat: 310-H) dalam kitab tafsirnya yang terkenal, Jaami’ul Bayaan fii Ta-’wiilil Qur-aan (19/313-315, Cet. Mu-assasah ar-Risaalah 1420-H), beliau menukil sekian banyak tafsiran ulama salaf tentang az-Zuur dan al-Laghwu pada ayat di atas. Kesimpulannya; termasuk dalam makna az-Zuur dan al-Laghwu adalah; “acara-acara kesyirikan terhadap Allah”, dan seluruh “acara-acara kemaksiatan lainnya”.
Belajar dari Sikap Baraa’ Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani raimahullâh
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani rahimahullaah (wafat: 561-H), menjelaskan bagaimana kebencian dan permusuhan karena Allah ditegakkan oleh ahlussunnah terhadap para penyeleweng agama dari kalangan ahlul bid’ah (da’i-da’i & tokoh aliran sesat). Dalam kitabnya al-Ghun-yah (jilid 1/ hal. 165, cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah) beliau mengatakan:
ألَّا يُكَاثِرُ أَهْلَ الْبِدَعِ وَلَا يُدَانِيْهِمْ، وَلَا يُسَلِّمُ عَلَيْهِمْ
“Agar (selayaknya ahlussunnah) tidak membiarkan ahlul bid’ah (da’i-da’i aliran sesat) berkembang, tidak mendekat pada mereka, dan tidak mengucapkan salam pada mereka…”
Sampai-sampai beliau mengatakan:
ولا يجالسهم ولا يقرب منهم ولا يهنيهم في الأعياد وأوقات السرور، ولا يصلي عليهم إذا ماتوا، ولا يترحم عليهم إذا ذكروا بال يباينهم ويعاديهم في الله عز وجل، معتقدا ومحتسبا بذلك الثواب الجزيل والأجر الكثير.
“Dan tidak duduk bersama mereka, tidak mendekati mereka, tidak mengucapkan selamat pada perayaan-perayaan mereka dan pada waktu-waktu mereka bergembira, tidak menyolatkan jenazah mereka, tidak mengucapkan (do’a) “rahimahullaah” ketika nama mereka disebut. Bahkan pisah dari mereka, memusuhi mereka karena Allah ‘azza wa jalla, atas dasar keyakinan dan harapan dari sikap (Baraa’) tersebut akan pahala yang besar dan ganjaran yang banyak.”
Jika demikian sikap Syaikh Abdul Qadir al-Jailani rahimahullah terhadap segelintir muslim yang menjadi tokoh dan penyeru kesesatan, maka bisa dibayangkan bagaimana sikap (baraa’) beliau terhadap orang-orang kafir.
Karena menurut keyakinan ahlussunnah, seorang muslim yang fasik tetap berhak mendapatkan perlakuan walaa’ dari muslim yang lain seukuran iman yang masih bersemayam dalam hatinya, kendati juga tetap disikapi dengan baraa’ sesuai kadar kefasikannya. Berbeda halnya dengan orang-orang kafir, yang tidak memiliki pokok iman. Maka baraa’ kita terhadap mereka haruslah mutlak 100%, dan walaa’ tidak boleh kita berikan kepada mereka sekalipun hanya 0,1%.
Penutup
Kesempurnaan cinta pada Allah dan Rasul-Nya (tidak bisa tidak) haruslah dibarengi dengan kebencian terhadap apa-apa yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Atas dasar inilah Allah mengekalkan permusuhan anak Adam dengan Iblis dan antek-anteknya. Atas landasan ini, Ibrahim berdebat sengit dengan bapaknya. Atas pijakan ini, Allah mewajibkan Nabi kita dan segenap Sahabatnya untuk hijrah dan menegakkan jihad (memisahkan jiwa dan raga dari komunitas kesyirikan, yang notebene komunitas tersebut adalah keluarga dan kerabat mereka di Makkah). Atas dasar aqidah (al-Walaa’ wal Baraa’) ini pula Allah memisahkan kita menjadi 2 golongan; penghuni surga dan penghuni neraka, pengikut Nabi dan pengikut Iblis. Jika pemisahan antara keduanya tidak kita tunjukkan dengan raga (apalagi tidak dengan hati), maka pantaskah kita menggolongkan diri ke dalam golongan para Nabi dan pengikutnya?
Maka tunjukkanlah sikap wahai orang-orang beriman yang mengaku mencintai Allah dan Rasul-Nya! Merelakan mata menyaksikan upacara-upacara kesyirikan adalah salah satu dosa besar di antara dosa-dosa yang terbesar. Menyaksikannya adalah keharaman yang nyata, berpaling darinya adalah ketaatan dan bukti cinta.
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah (Wahai Muhammad), jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku. Niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Pengasih.” [QS. Ali Imron: 31]
Cukuplah kalimat emas berikut (yang konon diucapkan oleh Imam Syafi’I, lihat Fathullaah al-Hamiid hal. 348, asy-Syaamilah), menjadi jawaban bagi mereka yang mengklaim cinta pada Allah dan Islam:
تَعْصِي الإلَهَ وَأَنْتَ تَزْعُمُ حُبَّهُ ** هَذَا وَرَبِّيْ فِي الْقِيَاسِ شَنِيْعُ
لَوْ كَانَ حُبُّكَ صَادِقًا لَأَطَعْتَهُ ** إنَّ الْمُحِبَّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيْعُ
Engkau durhakai sesembahanmu, sementara engkau mendakwa cinta pada-Nya
Sungguh ini–demi Tuhanku–adalah perbandingan yang tercela
Andai dakwaan cintamu tulus, niscaya engkau ‘kan taat pada-Nya
Karena sejatinya, seorang pecinta akan taat pada yang dicinta.
Membenci apa yang dibenci Allah adalah kendaraan yang akan menjauhkan kita dari Hizbusy-syaitan dan antek-anteknya. Sebagaimana mencintai apa yang dicintai oleh Allah, adalah jembatan untuk bergabung ke dalam Hizbullaah, bersama barisan para Nabi dan Wali-Wali-Nya. Di sinilah cinta dan benci bernilai ibadah di sisi-Nya.
***
Download versi e-book (pdf) di sini
Tulisan ini disusun di bawah bimbingan & arahan Guru-Guru kami (hafizhahumullâh):
Ust. Mukti Ali Abdulkarim, Lc. * Ust. Fauzi Athar * Ust. Mahsun Saleh
* Ust. Fakhruddin Abdurrahman, Lc. * Ust. Zahid Zuhendra, Lc. * Ust. Masyhuri, Lc.
* Ust. Sofyan Bafin Zen * Ust. Mizan Qudsiyyah, Lc.
***
Selesai ditelaah ulang dan disempurnakan kembali pada 24 Rabi’ul Akhir 1434 / 06 Maret 2013.
Johan Saputra Halim (Abu Ziyan)
Artikel: